13 June 2008

KEDAULATAN MARITIM
(Ancaman Trans National Crime Terhadap Stabilitas Pertahanan dan Keamanan NKRI di Selat Malaka)
ABDUL ROZAK TANJUNG
PENDAHULUAN

Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi isu penting dan strategis yang turut mewarnai perjuangan bangsa. Perjuangan sekitar integrasi Indonesia sebagai negara yang berdaulat sudah dimulai sejak Indonesia diproklamirkan pada tahun 1945, yang ditandai dengan integrasi wilayah pemerintahan daerah yang dahulunya berstatus jajahan Belanda dengan nama resmi Netherland Indies . Bentuk perjuangan lainnya yang dimaksudkan untuk mempertahankan kedaulautan adalah penumpasan gerakan separatis dan perjuangan mempertahankan kedaulatan maritim.

Pasca kemerdekaan NKRI tercatat berbagai peristiwa perjuangan mempertahankan kedaulatan negara di antaranya melalui Integrasi wilayah Indonesia Timur (Irian Jaya dan gugusan kepulauan di sekitarnya), penumpasan gerakan separatis baik yang dilakukan oleh DI/TII, integrasi wilayah Timor Timur ke wilayah NKRI sampai perdamaian antara gerakan separatis Aceh (Gerakan Aceh Merdeka) dengan Indonesia yang diselesaikan melalui Perjanjian Helsinki pada tahun 2005.
Di antara berbagai masalah kedauluatan negara, isu utama yang sering mengemuka dan sensitif terhadap hubungan diplomatik Indonesia dengan negara tetangga adalah masalah kedaulatan NKRI di wilayah perairan (kedaulatan maritim). Sumber daya dan energi bangsa telah begitu banyak dicurahkan untuk memperjuangkan kedaulatan negara di wilayah laut. Kekuatan militer, negosiasi sampai pada diplomasi internasional telah dilakukan untuk memperjuangkan kedaulatan. Hasil penting dari perjuangan tersebut adalah bergesernya paradigma penentuan kedaulatan maritim NKRI, yang pada masa penjajahan Belanda menganut asas pulau demi pulau, menjadi tata lautan yang bersendikan negara kepulauan (archipelago principles) . Pergeseran paradigma tersebut menjadikan kedaulatan NKRI sebagai kesatuan teritorial darat dan laut yang terintegrasi.

Letak Indonesia ditinjau dari segi geografis, ekonomi, sosial-budaya maupun pertahanan-keamanan amat strategis karena berada di posisi silang yang menghubungkan dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Fasifik serta dua benua yaitu Asia dan Australia. Lalu lintas dari Samudera Hindia ke Samudera Fasifik dan sebaliknya perlu melintasi wilayah Indonesia jika ingin mengambil jalur terpendek . Kondisi geografis ini dapat membawa dampak positif terutama sektor ekonomi di samping dampak negatif yang ditimbulkan yaitu ancaman keamanan dan pertahanan NKRI.
Indonesia merupakan negara maritim dengan luas wilayah laut 5,8 juta km2 yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia yang didalamnya terdapat 17.500 pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang ke dua di dunia setelah Kanada. Kedaulatan wilayah NKRI di laut sudah sejak lama diperjuangkan mulai dari Perdana Menteri Ir. H. Djuanda pada tahun 1957 sampai pada Menteri Luar Negeri Indonesia, Prof. Dr. Mochtar Kusumah Atmadja, pada tahun 1982.

Deklarasi Djuanda sebagai salah satu tonggak sejarah maritim Indonesia, merupakan satu dari tiga pilar utama kesatuan dan persatuan negara dan bangsa Indonesia yaitu: Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan Kesatuan Kewilayahan (Darat, Laut dan Udara) melalui Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957. Perjuangan terakhir mengenai kedaulatan maritim NKRI ditandai dengan regulasi Konvensi PBB yang dikenal dengan United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS) pada tahun 1982 .Namun, perjuangan mempertahankan kedaulatan NKRI berdasarkan prinsip UNCLOS tersebut ternyata masih mengalami jalan buntu dalam proses implementasinya. Hal ini terjadi karena kurangnya perhatian Indonesia di pulau-pulau terluar yang berdasarkan prinsip UNCLOS menjadi pilar penting bagi penganggalan wilayah NKRI di wilayah perairan.
Setelah lebih dari dua dasawarsa regulasi konvensi PBB tersebut, masalah kedaulatan maritim NKRI masih mengalami hambatan besar terutama masalah perbatasan NKRI di wilayah laut dengan negara tetangga, khususnya ASEAN. Negara ASEAN yang berbatasan wilayah laut dengan Indonesia adalah Malaysia di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, Singapura di Selat Malaka, Philipina di Laut Sulu Thailand di Selat Malaka, Vietnam di Laut Cina Selatan serta Timor Leste di Laut Nusa Tenggara. Masalah perbatasan ini pernah menuai konflik bilateral antara Indonesia dengan Negara tetangga khususnya Malaysia pada kasus pelepasan Pulau Sipadan dan Ligitan serta ketegangan di Blok Ambalat, yang dikenal Malaysia sebagai Blok X, Y, Z .
Permasalahan kedaulatan NKRI di wilayah laut diprediksikan masih terus akan menemui jalan buntu. Departemen Pertahanan Republik Indonesia setidaknya mencatat adanya sepuluh titik rawan perbatasan Indonesia di wilayah laut yaitu :

SELANJUTNYA DOWNLOAD PADA JUDUL BERIKUT:
KEDAULATAN MARITIM DAN ANCAMAN TRANSNATIONAL CRIME.pdf

12 June 2008


ILLEGAL LOGGING DAN BISNIS POLISI
(Studi Peran Polri dalam Praktek Illegal logging di Kawasan Taman Nasional)
Abdul Rozak Tanjung
Peneliti Lapangan Pada Proyek Pusaka Indonesia di Mandailing Natal Tahun 2006
A. Taman Nasional Batang Gadis dan Potensi Kayu
Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan deskripsi sekitar keterlibatan polisi, sebagai alat penegak hukum, penjaga keamanan dan ketertiban, dalam praktek Bisnis Kaya di Kawasan Hutan Kabupaten Mandailing Natal. Tulisan ini disampaikan penulis dari hasil penelitian penulis bersama Bitra Konsorsium tahun 2005 di Kawasan Taman nasional Batang Gadis. Wawancara mendalam (indepth interview), pengamatan langsung (observasi), dan dukungan data sekunder menjadi alat pencari data yang utama dalam tulisan ini. Dalam penelitian tersebut digunakan juga FGD untuk melakukan klarifikasi atas temuan data yang diperoleh di lapangan baik dari inifornan maupun dari sebaran data sekunder.
Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) adalah sebuah Taman nasional di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara yang terletak di 99° 12’ 45" BT sampai dengan 99° 47’ 10" dan 0° 27’ 15" sampai dengan 1° 01’ 57" LU dan secara administrasi wilayah ini dikelilingi 68 desa di 13 kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal. Nama taman nasional ini berasal dari dari nama sungai utama yang mengalir dan membelah Kabupaten Madina. TNBG meliputi kawasan seluas 108.000 hektar atau 26% dari total luas Madina yang terletak pada ketinggian 300 s/d 2.145 meter di atas permukaan laut dengan titik tertinggi puncak Gunung Sorik Merapi.

Melalui SK No 126/Menhut-II/2004 Menteri Kehutanan, TNBG disahkan sebagai Taman Nasional. TNBG terdiri dari dari kawasan hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi tetap. Hutan lindung yang dialih fungsikan seluas 101.500 ha, terdiri dari hutan lindung Register 4 Batang Gadis I, hutan Register 5 Batang Gadis II komp I dan II, Register 27 Batang Natal I, Register 28 Batang Natal II, Register 29 Bantahan Hulu dan Register 30 Batang Parlampuan I yang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung sejak masa pemerintahan Belanda dalam kurun waktu 1921 – 1924. Sementara kawasan hutan produksi yang dialihkan meliputi areal eks HPH PT. Gruti, seluas 5.500 ha, dan PT. Aek Gadis Timber seluas 1.000 ha.

Tujuan pembentukan taman nasional adalah untuk menyelamatkan satwa dan habitat alam.TNBG juga sebagai simbol pengakuan nilai-nilai kearifan lokal dalam mengelola hutan. Salah satu kearifan tradisional masyarakat setempat ini dibuktikan dengan lubuk larangan atau naborgo-borgo atau harangan rarangan atau hutan larangan, merupakan beberapa contoh kearifan lokal yang hingga kini masih lestari. Pembentukan ini juga sangat penting mengingat bahwa laju kerusakan hutan alam di propinsi ini sudah pada tingkat yang sangat memprihatinkan. Berdasarkan data Departemen Kehutanan pada tahun2003, kerusakan hutan di kawasan ini mencapai 3,8 juta ha per tahun. Kerusakan hutan di Sumatra Utara sendiri mencapai 76 ribu ha per tahun dalam kurun waktu 1985 – 1998. Sampai akhir November 2004 kerusakan hutan yang disebabkan penebangan liar (illegal logging) dan kebakaran hutan di Sumut mencapai 694.295 ha, untuk hutan lindung mencapai 207.575 ha, hutan konservasi 32.500 ha, hutan bakau 54 220 ha dan hutan produksi sekitar 400.000 ha.

Pembentukan taman nasional ini juga tidak semata-mata upaya pemerintah saja, melainkan atas jerih payah masyarakat dan kalangan lembaga swadaya masyarakat seperti,BITRA Indonesia, Conservation International Indonesia (CII), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia(Walhi) Sumut, PUSAKA Indonesia, Yayasan Leuser Lestari (YLL), Yayasan Samudra dan lain-lain.

B. Lokus Dan Kasus Illegal Logging Di Sepuluh Desa Di Mandailing Natal.
B.1. Lokus

Dalam deskrispi berikut ini disarikan beberapa lokus dan praktek illegal logging pada sepuluh desa yang menjadi penelitian penulis pada tahun 2005 bersama Bitra Konsorsium.

Desa Simpang Duhu Dolok
Sejauh yang dapat ditelusuri di lapangan,kegiatan illegal logging belum menyentuh wilayah desa simpang Duhu Dolok. Tidak ada warga yang terlibat penbalakan kayu di hutan, juga tidak ada aktivitas penebangan kayu liar di kawasan desa mereka. Namun belakangan ini ada pengusaha-pengusaha panglong dari pasar Kotanopan yang mulai beroperasi dan menebang kayu di wilayah Ulu Pungkut. Mereaka ini boleh dikatakan merupakan ancaman bagi kelestarian hutan di daerah Simpang Duhu Dolok, karena kawasan di beberapa desa lain di sekitarnya sudah mulai dirambah oleh aktor-aktor luar ini.
Desa Batahan
Sejauh yang diperoleh keterangan dari sejumlah informan, di Desa Bathan belum terjadi praktek-praktek pembalakan hutan yang melibatkan warga. Bentuk keterlibatan mereka dalam pemanfaatan hasi hutan hanya terbatas pada pengumpulan rotan manau di masa yans lalu, serta pemanfaatan sayur-sayuran dan buah-buahan hutan, juga pemanfaatan berbagai jenis binatang dan unggas.
Desa Sibanggor Julu
Aktivitas penebangan kayu yang terjadi di Sibanggor dapat digolongkan atas dua kategori. Peratama aktivitas penebangan kayu untuk keperluan warga sendiri, misalnya untuk mendapatkan perabot rumah dan untuk kayu bakar. Kedua, kegiatan penebangan kayu yang merupakan bagian dari jaringan illegal logging yang ada di daerah Mandailing Natal secara keseluruhan.
Penebangan kayu kategori pertama boleh dikatakan tidak bersifat eksplotatif karena skalanya kecil, menggunakan tekhnologi sederhana dan juga dilakukan di wilayah-wilayah yang berada di luar kawasan lindung. Kebutuhan kayu untuk bahan bakar sangat vital karena di desa Sibanggor Julu banyak warga yang menyadap nira untuk dijadikan gula aren. Proses pengolahan nira menjadi gula aren memerlukan kayu baker yang cukup banyak setiap hari, oleh karena itu kebutuhan kayu bakar termasuk cukup besar untuk menopang ekonomi gula aren. Hanya saja, kayu yang biasa digunakan untuk kayu bakar juga tidak termasuk kayu yang bermutu tinggi seperti halnya kayu untuk log. Bahkan kayu yang dimanfaatkan adalah kayu-kayu yang sudah tumbang, sudah mulai lapuk, dan umumnya berukuran sedang. Daya jangkau para petani gula aren untuk mendapatkan kayu bakar juga tidak teralalu jauh, sehingga dampak ekologisnya tidak begitu signifikan. Pandangan warga terhadap aktivitas penebangan kayu untuk kebutuhan kayu bakar maupun untuk perabot rumah tangga berbeda dengan pandangan mereka terhadap illegal logging. Untuk kebutuhan kayu bakar dan perabot rumah mereka anggap sebagai sesuatu yang wajar dan tidak perlu dilarang karena dilakukan dalam skala kecil dan bukan untuk tujuan komersil, sementara praktik illegal logging dipandang sebagai suatu tindakan yang berbahaya bagi keselamatan lingkungan.

Penebangan kayu kategori kedua, atau illegal logging, dilakukan oleh sejumlah kecil aktor yang merupakan bagian dari jaringan pembalakn kayu di Madina. Di desa ini ada empat aktor yang selam ini terlibat dalam praktik penebangan kayu secara illegal dengan menggunakan gergaji mesin (chainsaw). Mereka merupakan bagian dari jaringan penebangan kayu illegal yang selama ini berlangsung di kawasan Maga Sibanggor, dan belakangan ini juga memperluas kegiatannya sampai ke Batang Natal, bahkan ke wilayah Kecamatan Siais di perbatasan Kabupaten Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan.

Penebangan kayu sudah masuk ke kawasan hutan lindung, dan batas hutan lindung sendiri tidak lagi jelas karena patok batas yang selama ini ada sudah dipindah oleh orang-orang tertentu lebih jauh ke atas sehingga mengaburkan batas yang sebenarnya. Praktik-praktik penebangan kayu log di kawasan Tarlola Sibanggor sudah berlangsung cukup lama, bahkan hal itu sudah pernah menimbulkan konflik besar antara penduduk Maga dan penduduk Hutanamale yang berbuntut panjang terhadap munculnya disharmonisasi di kawasan ini. Penebagnga kayu selama ini marak di bagian kaki gunung Sorik Marapi, di hutan-hutan yang berada di bagian hulu Hutanamale dan Hutabaringin. Pemilik Chainsaw adalah warga lokal, dan kayu yang ditebang diangkut ke kilang kayu yang ada di Panyabungan, anatara lain milik pengusahu Ucin. Kayu olahan di kilang-kilang tersebut kemudian didistribusikan ke kawasan Madina maupun luar Madina, termasuk untuk memasok kayu bagi pengusaha keturunan Cinadi Kisaran.

Jalur pengangkutan kayu dari kawasan Hutanamle selama ini ada dua, yaitu melalui Hutabaringin, Hutanamale, Huta Lombang, Maga sampai ke panyabungan; jalur kedua melalui Hutabaringin, Hutanamle, Sibanggor Jae, Jembatan Merah lalu ke Panyabungan. Jalur pertama sudah berakhir karena adanya konflik antara penduduk Maga yang keberatan dengan tindakan pembalakn yang dilakukan penduduk desa-desa di bagian atas (Huatanamale, Hutabaringin, dll) yang berakibat pada rusaknya sarana jalan ke arah Maga dan juga berkurangnya debit air untuk penduduk di wilayah lembah Sorik Marapi.

Di kawasan Sibanggor Julu aktivitas pembalakn kayu berlangsung di beberapa bukit yang menjadi bagian dari Gunung Sorik Marapi, diantaranya di Napa Natayas, Tor Barerang dan Aek Nalomlom. Penduduk Sibanggor Julu berpandangan bahwa penebangan kayu yang dilakukan untuk tujuan komersil seperti yang berlaku selama ini tidak dibenarkan, tetapi kalau hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan perabot rumah tangga menurut mereka masih wajar. Terlebih lagi karena penebangan kayu khususnya untuk kayu bakar sudah menjadi bagian dari aktivitas pengelolaan gula aren yang selama ini menjadi salah satu komoditi unggulan dari desa Sibanggor Julu.
Desa Sibanggor Jae
Aktivitas penebangan kayu hanya dalam skala kecil untuk kebutuhan rumah tangga, dan kegiatan itu juga dilakukan di wilayah desa atau di lahan sendiri. Kegiatan pembalakan kayu secara illegal tidak ada di desa ini, karena wilayah desa Sibanggor Jae tidak memiliki kawasan hutan lagi. Aktivitas penebangan kayu illegal itu berada di bagian hulu-hulu sungai, yaitu di kawasan yang sudah termasuk kawasan Hutanamale, di lembah Gunung Sorik Marapi.
Penduduk Sibanggor Jae tidak menyetujui kegiatan pembalakan kayu yang dilakukan oleh orang-orang dari desa Hutanamale dan Hutabaringin yang menjadi kaki tangan pengusaha dari panyabungan. Memang mereka mengakui bahwa hutan yang dibalak bukan hutan desa Sibanggor Jae, namun mereka ikut merasakan dampak buruk dari pembalakan kayu tersebut yaitu terhadap turunnya debit air untuk kebutuhan desa dan juga kerusakan jalan akibat dari truk pengangkut balok-balok kayu yang melintasi desa mereka. Mereka berpandangan bahwa walaupun hutan yang dibalak berada di luar kawasan desanya, pengaruh terhadap sumber-sumber air sangat besar, sementara kebutuhan air untuk desa Sibanggor Jae ini dialirkan melalui aliran Aek Maga yang ada di Sibanggor Julu. Mereka juga percaya bahwa pembalakan hutan akan menghancurkan bidang pertanian secara langsung atau tidak langsung.
Salah satu upaya yang pernah dilakukan oleh aparat pemerintah desa dah warga Sibanggor Jae untuk menahan laju pembalakan hutan di bagian hulu atau di Lembah Sorik Marapi adalah dengan menyetop peredaran kayu illegal yang melewati desa mereka. Pada tahun 2000 diterbitkan suatu keputusan desa untuk menahan setiap truk yang membawa kayu illegal melewati desa Sibanggor Jae menuju Panyabungan. Mereka mengambil mengambil tindakan menyetop truk tersebut karena melihat kenyataan selama ini bahwa truk-truk yang membawa kayu illegal dari daerah Hutanamale Sibanggor selalu lolos ke Panyabungan meskipun di Jembatan Merah sudah ada pos pemeriksaan hasil hutan dari Dinas Kehutanan. Oleh karena itu mereka berinisiatif untuk menahan kayu tersebut sebelum sampai di Jembatan Merah.

Dengan dasar keputusan desa tersebut maka warga desa pada tahun 2000 menahan empat unit truk yang membawa kayu dari arah Hutanamale. Rute Hutanamale – Sibanggor Jae – Kayu Laut dan Panyabungan menjadi pilihan bagi pengusaha kayu karena lebih dekat jaraknya, juga karena penduduk Maga yang menjadi pintu keluar lainnya juga memberikan reaksi atas praktik penebangan liar tersebut. Ketika itu, empat truk yang membawa kayu illegal tadi dikawal oleh aparat keamanan (seorang polisi dan seorang anggota Koramil). Mereka berusaha bernegosiasi dengan kepala desa untuk meloloskan truk tersebut dengan tawaran Rp. 500.000 untuk setiap truk yang lewat, namun kepala desa Sibanggor Jae menolaknya. Warga menyita kayu tersebut dan kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan desa.

Menurut penuturan seorang informan, aparat keamanan juga pernah meneror dan mengancam kepala desa atas sikapnya ynag menolak truk-truk kayu melewati desa meraka. Dikatakan bahwa hanya desa Sibanggor Jae yang menolak, hutan yang ditebang juga bukan milik Sibanggor Jae, sumber-sumber air yang ada di hulu Hutanamale juga bukan dimanfaatkan oleh penduduk Sibanggor Jae. Nmaun dengan terror dan ancaman yang dilakukan aparat keamanan warga desa Sibanggor Jae tetap bertahan dengan sikapnya. Sikap menolak yang ditunjukkan warga Sibanggor Jae tersebut sempat membuat hubungan antara masyarakat Sibanggor Jae dan hutanamale menjadi kurang harmonis.
Pembalakan kayu di hutan Hutanamale merupakan bagian dari mafia kayu illegal yang digerakkan oleh pengusaha kilang yang ada di Panyabungan (Ucin) dan berkolaborasi denga pengusaha keturuna Cina dari Kisaran. Aktivitas pembalakn kayu sudah berhenti sejak tahun 2004.

Desa Roburan Dolok
Desa Robuarn Dolok merupakan salah satu pintu keluar kayu-kayu balok yang diambil secara illegal dari hutan lindung. Praktik pembalakn hutan di kawasan desa Roburan Dolok sudah berlangsung lama, dan berhenti akhir 2004 lalu setelah SBY ditetapkan menjadi Presiden. Berhentinya aktivitas penebangan kayu di hutan-hutan sekitar Roburan Dolok terjadi Karena para pengusaha kilang kayu yang ada di Panyabungan menutup sementara usahanya karena takut tindakan yang akan diambil oleh pemerintah dalam mengendalikan praktik illegal logging.
Keterlibatan warga Roburan Dolok dalam pembalakan kayu tersebut bervariasi, ada yang menjadi kakitangan pengusaha dari Panyabungan, dan yang terbanyak adalah yang menjadi buruh pengangkut balok-balok dari tempat penebangan ke lokasi-lokasi storing kayu sebelum diangkut ke Panyabungan. Pembalakn kayu di kawasan ini sudah jauh melampaui batas “rintis” yaitu patok batas hutan lindung yang diterapkan sejak zaman Belanda. Sebagian besar anak-anak muda yang menganggur di desa Roburan Dolok terlibat sebagai pekerja dalam proses pembalakan hutan tersebut, dengan pendapatan sekitar Rp. 40.000/ hari untuk mengangkut balok.

Desa Huta Bargot Nauli
Aktivitas illegal logging di Huta Bargot Nauli marak pada tahun 2003-2004. Waktu itu balok-balok kayu yang diangkut dari daerah HBN mencapai 3-5 truk/ hari, dijual ke Panyabungan. Ada puluhan chainsaw yang beroperasi di hutan wilayah HBN, dan ada juga warga HBNyanjadi salah satu tokenya, selain yang datang dari luar desa. Pembalakan kayu ketika itu mengikutu jalur pembukaan jalan tembus arah Siulang-aling. Pemborong permbangunan jalan waktu itu adalah Ali Rahman Nasution. Aktivitas pembalakn kayu bernenti sejak SBY dilantuk menjadi Presiden, namun secara kecil-kecilan masih tetap berlangsung. Sebelum Agustus 2004 daerah ini merupakan tempat beroperasinya penebangan liar dan perburuan binatang.

Praktik-praktik illegal logging biasanya terjadi di bukit Tor Adian, Tor Sikaba Laut, Simpang Mondan, dan Tor Siduadua. Dahulu H. Tajudin memiliki usaha sawmll, tetapi sekarang tidak aktif, namun beliau masih ikut berbisnis kayu. Mayoritas pelaku illegal logging adalah warga luar desa yang sengaja datag menebang kayu. Pelaku utamanya adalah pemilik chainsaw yang ada di Panyabungan yang sekaligus menjadi toke kayu. Penduduki desa HBN pada umumnya hanya menjadi buruh angkut di tengah hutan. Mereka biasanya pergi ke hutan untuk beberapa waktu (sekitar seminggu) dengan membawa makanan, dan mereka membuat pondok-pondok sebagai tempat tinggal sementara di tengah hutan.

Maraknya aktivitas penebangan liar ini diduga ada kaitannya dengan fakta bahwa harga gergaji mesin yang bekas cukup murah yaitu sekitar Rp. 2,5 juta sehingga banyak orang yang mampu membeli. Pelaku illegal logging berusaha mengambil hati masyarakat dengan cara memperbaiki jalan desa menuju lokasi hutan. Ada proyek jalan desa dari Hutabargot menuju Siulangaling (kecamatan Muara Batang Gadis), tetapi hanya sekitar 12 km. Pemborong pembangunan jalan itu adalah Ali Rahman Pulungan, dan dialah yang mengambil kayu di tempat itu.Pola distribusi kayu: kayu-kayu yang ditebang dikumpulkan di dekat desa (storing), lalu pengusaha melakukan lobi ke kepala desa untuk memuluskan pengangkutan, ke semua Kades-kades di kawasan Hutabargot; pengusaha memberikan retribusi Rp. 50.000/m3 selama tahun 2003-2004. Hasil distribusi dibagikan ke pada lima desa secara merata. Pengusahu kayu melibatkan pemuda setempat untuk menjaga kayu (jaga malam). Khusus Hutabargot Nauli, mereka mengumpul dana melalui bendahara desa dan digunakan untuk pembangunan sarana ibadah.

Desa Humbang Satu
Seperti desa-desa lain di seberang Batang Gadis, di Humbang I juga beberapa tahun lalu terdapat aktivitas pembalakan kayu di Tor Siayo. Penduduk Humbang banyak yang ikut bekerja sebagai pengangkut kayu balok. Aktivitas penebangan liar berhenti sejak tahun lalu.

Desa Muara Batang Angkola
Persoalan utama yang ada di desa ini berkaitan dengan kelestarian hutan adalah aktivitas pembukaan hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Hutan yang ada di Tor Siayo Di seberang sungai Batang Gadis sudah sejak lama dirambah oleh warga luar desa, terutama oleh warga migrant Nias untuk membuka lahan pertanian karet dan kemiri. Diperkirakan ada sekitar 300 orang atau keluarga yang hidup di punggung-punggung perbukitan, berpencar di lahan-lahan yang mereka buka. Konversi kawasan hutan lindung menjadi lahan pertanian sudah berlangsung lama dan masih berlanjut hingga sekarang.Selain migran Nias, pembukaan lahan hutan di seberang sungai tersebut juga dilakoni warga dari desa-desa tetangga MBA seperti dari Huta Godang Muda dan Tangga Bosi. Penduduk MBA sendiri baru-baru ini saja mulai tergerak untuk ikut membuka lahan pertanian di daerah tersebut.

Desa Sopotinjak
Beberapa tahun lalu aktivitas penebangan kayu di huta kawasan Sopotinjak juga marak terjadi seperti yang terjadi di kawasan-kawasan lain di Mandailing Natal. Salah satu keterlibatan warga dalam kegiatan penebangan kayu illegal itu adalah faktor kesulitan ekonomi. Keterlibatan warga desa pada umumnya hanya sebagai buruh tebang dan pengangkut kayu log dari hutan ke tempat-tempat truk pengangkut kayu menunggu. Aktor-aktor utama dalam penebangan kayu ini adalah para cukong dari Panyabungan, karena mereka memberikan modal.Praktek pembalakn hutan itu bias berjalan mulus karena keterlibatan dari aparat desa dalam bisnis tersebut. Sekretaris desa dan seorang tokoh masyarakat yang memiliki gergaji mesin ikut dalam aktivitas tersebut.
Lokasi-lokasi yang selama ini banyak ditebangi kayunya antara lain di sekitar Dolok Martimbus, Tor Sitinjak Lama, dan Aek Simate-mate. Akses masuk ke kawasan huatn ini adalah jalan setapak yang tidak bias dilalui kenderaan bermotor. Para pemuda dan warga desa umunya terlibat sebagai buruh angkut kayu menempuh jalur itu. Kayu dikumpulkan di bagian hulu desa sebelum diangkut dengan truk-truk besar ke Panyabungan. Seorang informan mengatakan bahwa kayu yang diangkut dari Sopotinjak pada masa itu sekitar satu truk fuso setiap minggu.

Desa Aek Nangali
Pembalakan kayu illegal dalam skala besar marak sebelum Agustus 2004. Ada tiga kawasan yang menjadi titik aktivitas pembalakan kayu, myaitu di bukit Tor Sanduduk, Tor Ompu Sutan dan Tor Pargadungan. Jenis kayu yang paling diincar pembalak adalah kayu ‘bania’, yang memiliki nilai ekonomis paling tinggi, dan juga kayu ‘resak’. Pelaku pembalakn kayu ini termasuk warga Aek Nangali sendiri, dengan menggunakan gergaji mesin (chainsaw) milik warga desa. Sekarang ini masih ada dua orang lagi yang menyimpan chainsaw, termasuk kepala desa Aek Nangali. Selain aktor dari warga desa Aek Nangali sendiri, pembalakn kayu di kawasn ini juga dilakukan oleh warga luar desa dari berbagai tempat di Mandailing Natal, termasuk aktor-aktor pembalak kayu yang selama ini beroperasi di kawasan Hutanamale Sibanggor.
Kegiatan pambalakan kayu tersebut dipermudah dengan dibukanya jalan desa yang menghubungkan desa Aek Nangali dengan desa Aek Nabara (dulu masih bagia dari Aek Nangali) sepanjang kurang lebih 22 km. Proses pengangkutan kayu dari hutan beralangsung lewat jalan ini. Warga desa yang terlibat sebagai buruh angkut bekerja mengangkut (memundak) balok-balok kayu dari hutan tempat penebangan ke pinggir jalan untuk seterusnya diangkut dengan mobil pikap ke Aek Nangali. Ongkos angkut kayu yang diterima oleh buruh tersebut hanya sekitar Rp. 40.000/ hari. Kayu-kayu tersebut ditumpuk di dekat banhgunan sekolah SMP Aek Nangali menuggu dibawa ke panglong-panglong kayu di Panyabungan. Ketika kegiatan pambalakan kayu ini sedang marak-maraknya, setidaknya ada tiga truk besar (fuso) yang mengangkut kayu illegal dari desa ini ke Panyabungan setiap minggu.

Selain aktor-aktor yang mengambil kayu secara illegal, di kawasa Aek Nabara ada juga penebangan kayu yang dilakukan oleh pemilik izin (IPKTR) atas nama sebuah koperasi yaitu Koperasi Pondok Pesantren Al-Bitsatil Islamiyah, Panyabungan, yang dipimpin oleh Makmur Rangkuti. Izin Bupati Madina yang dikantongi koperasi itu bernomor 522/365/K/2001. Pengelola koperasi ini pernah memberikan sumbangan dana ke desaAek Nangali sebesar Rp. 50.000.000; atas pemintaan warga masyarakat dana itu kemudian dibagi rata dan setiap KK mendapat Rp. 265.300. Pihak Koramil Batang Natal di Muara Soma juga termasuk yang menerima ‘dana stabil’ untuk terus berlangsungnya kegiatan pembalakan kayu di kawasan tersebut.

Dari keterangan informan diketahui bahwa di desa ini terdapat beberapa orang yang memilki gergaji mesin, yaitu Sundut Dalimunte (Kepala Desa) memiliki 3 buah,Zulkifli Lubis (Sekretaris Desa), Gusnar Siregar, Kisron, Syafii Batubara, dan Ali Usman. Mereka inilah yang ikut menjadi bagian dalam aktivitas pembalakan kayu dari desa, plus warga desa yang bekerja sebagai buruh angkut.

B. Modus
Secara umum peranan Polri dalam kasus sepuluh desa di atas adalah pem backup-an terhadap (1) pengeluaran izin HPH atau dokumen penebangan lainnya, (2) Distribusi dan Transportasi hasil kayu jarahan, (3) backing terhadap sawmill serta (4) kepemilikan chainsaw.
1. Pengeluaran HPH
Untuk melakukan penebangan kayu secara legal diperlukan izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian. Izin seperti ini diperlukan para penguasaha untuk melakukan praktek illegal logging. Pada saat ini juga polisi membantu para pengusaha yang mempunyai HPH untuk membackup segala aktifitas pengambilan kayu di hutan. Jika memiliki HPH dan juga mendapatkan dukungan pengamanan dari Polisi maka seorang pengusaha kayu dapat dengan leluasa melakukan penebangan secara liar.
2. Distribusi dan Transportasi Hasil Kayu Jarahan
Seperti terjadi di Desa Sibanggor Jae, Polisi turut serta dalam proses pengangkutan kayu dari sumber kayu sampai ke sawmill. Hal ini dilakukan untuk menakut-nakuti warga yang selalu melarang kayu yang melewati desanya meneruskan perjalanannya. Warga yang merasa keberatan dengan rusaknya jalan desa tidak mau memberikan keleluasaan bagi truk-truk kayu untuk melewati Jalan Desa. Peristiwa ini sampai hari ini tidak pernah diusut, namun oknum polisi yang ikut bersama rombongan truk akhirnya takut dengan tindakan pemberhentian dan menurunkan paksa kayu yang ada dalam truk.
3. Backing Terhadap Sawmill
Pada masa maraknya praktek illegal logging ini sampai tahun 2005 angka peningkatan jumlah sawmill di Mandailing Natal terus bertambah. Informan penulis yang berasal dari Manisak Kecamatan batahan menyatakan dalam satu desa bisa terdapat jumlah Sawmill 3 sampai 4 sawmill. Sawmill ini mendapatkan perlindungan dari aparat keamanan sehingga dengan leluasa sawmill ini didirikan di pinggir jalan raya.
4. Kepemilikan Chaisaw
Dalam beberapa desa di wilayah Kecamatan Batang Natal, jumlah chainsaw bisa mencapai angka 25 buah chainsaw dalam satu desa. Kepemilikan chainsaw ini bisa dimiliki sendiri oleh warga atau milik polisi yang disewakan kepada warga dengan sistem bagi hasil. Selain memiliki chainsaw di desa, oknum polusi juga meminta insentif dari pemilik chainsaw lainnya untuk bisa mengoperasikan chainsawnya di desa.






10 June 2008

KORUPSI DI TUBUH POLRI:

REFLEKSI SEORANG PERSONIL POLRI DARI TANAH KARO1

Abdul Rozak Tanjung2
Korupsi Di Tubuh Polri
Tanpa perdebatan yang alot di Legislatif, Jenderal Polisi Sutanto diangkat Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi pemegang tongkat kepemimpinan di kursi Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Istana dinilai berbagai pihak jeli memainkan strategi calon tunggal untuk menghindari perdebatan yang alot atau kemungkinan terjadinya praktek penyuapan di lembaga legislatif (DPR-RI) itu. Alhasil, Sutanto menikmati jalan mulus menuju pucuk pimpinan di lembaga penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat tersebut.
Dengan langkah yang mantap, sang jumawa memanggil semua Kapolda untuk mensosialisasikan sekaligus menegaskan visinya dalam pemberantasan judi dan narkoba. Tidak tanggung-tanggung, Sutanto memberikan deadline cukup seminggu untuk memberantas judi di seantero Indonesia. Kontan, dari Jakarta, Medan sampai desa terpencil di Tapanuli Selatan bersih dari judi sebagai buah kebijakan itu.

Sukses memberantas judi, kini menguap kasus korupsi di tubuh Polri. Lagi-lagi sang jumawa merekomendasikan pengusutan rekening-rekening personilnya yang tidak wajar. Pusat Pelaporan Transaksi dan Analisa Keuangan (PPTAK) menyatakan adanya 15 rekening milik perwira Polri yang angkanya tidak wajar. Demikian juga ungkapan David Ridwan Betz, Direktur Eksekrutif Aliansi Masyarakat Independen Pemantau Kinerja Aparatur Negara (Ampika) yang menyatakan ada perwira tinggi Polri yang mempunyai rekening sampai 800 Milyar (Analisa, 29 Juli 2005).Deskripsi di atas menyiratkan bagi kita bahwa korupsi di tubuh Polri telah mengakar dari unit yang paling kecil (Pospol) sampai pada induk organisasi (Mabes).

Korupsi merupakan variabel pengganggu dalam menciptakan demokrasi di Indonesia. Pada tahun 2004, gambaran korupsi institusi telah terjadi pada pelbagai lembaga mulai dari legislatif, eksekutif, yudikatif dan bahkan LSM sendiri. Sebuah Survey yang dilakukan oleh Transparancy International Indonesia, dengan responden sebanyak 1.234 dari 3 kota besar di Indonesia yakni: Jakarta, Surabaya dan Medan memperlihatkan bagimana perbandingan korupsi antar instansi. Polisi menempati urutan ke-3 sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut:

Tabel 1. Korupsi Institusi dan Indeks Korupsi
============================
No Institusi Angka
============================
1 Partai Politik/DPR 4.4
2. Bea Cukai 4.3
3. Pengadilan/Polisi 4.2
4. Pajak 4.0
5. Bisnis/Swasta 3.7
6. Militer 3.3
7. Sistem Pendidikan 3.2
8. Pekerjaan Umum 3.1
9. Media 2.6
10. Pelayanan Umum 3.0
11. LSM 2.4
12. Badan Keagamaan 1.8
=================================
Sumber: Transapency Internasional Indonesia (Analisa, 29 Juli 2005 Hal 28)
Sudirman Said & Nizar Suhendra (2002:112) menyatakan bahwa paling tidak ada 4 (empat) penyebab korupsi itu. Pertama, Aspek individu pelaku korupsi; kecenderungan menunjukkan bahwa makin besar jumlah uang yang dikorupsi, makin banyak “orang besar” yang terlibat. Kedua, Aspek organisasi, Korupsi biasa terjadi karena memang organisasi tersebut biasanya memberikan peluang terjadinya korupsi mulai dari tidak adanya keteladanan pimpinan sampai pada lemahnya sistem pengendalian manajemen. Ketiga, Aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat ternyata kondusif untuk melakukan korupsi. Keempat Aspek perundang undangan, di era ode baru, yang dibuat hanya menguntungkan kerabat dan konco-konco prersiden.

Profil Seorang Personil Polri: Deskripsi Korupsi Dalam Lingkup Mikro
Deskripsi berikut menggambarkan bagaimana korupsi itu terjadi di tubuh Polri dalam lingkup mikro. Siang itu, Juni 2005, terik matahari begitu menyengat, tidak seperti biasanya, Kecamatan Munte yang begitu sejuk kini kurang bersahabat. Dalam perjalanan penulis menuju Desa Buluh Naman dari Kantor Camat Munte penulis menunggu bus di persimpangan jalan raya Medan-Kutacane-Munte. Seorang personil (SM) dari unit Polsek Munte duduk di sebuah kursi yang dilengkapi dengan meja kayu yang sudah tua. Satu persatu mobil yang lalu lalang ia perhatikan, dan setiap truk yang melintas dia berhentikan. Tanpa banyak komentar dari sang sopir ia menyodorkan, mereka menyodorkan satu atau dua lembaran Rp,1000 kepada sang polisi dan mereka pun bisa melintasi jalan menuju Medan.

Setelah “panen”, personil polisi itu mengajak penulis meminum kopi yang dia pesan dari tukang kopi. Wawancara tak berstruktur pun penulis mulai. Inti dari wawancara dan perbincangan itu adalah pengutipan yang ia lakukan hanyalah untuk “uang rokok” yang juga diketahui pimpinannya. Dengan dalih gaji yang minim yang tidak sampai dengan Rp. 1.000.000, serta kewajiban untuk memberikan nafkah keluarga, SM memandang layak untuk melakukan pengutipan ilegal itu.

Meretas Jalan Menggali Akar Korupsi Di Tubuh Polri: Sebuah Solusi
Polisi sebagai salah satu institusi penegak hukum mempunyai posisi penting dalam pemberantasan korupsi. Secara normatif, institusi ini merupakan unsur penyidik utama dalam berbagai tindak pidana. Posisi penting itu kerap disalahgunakan dan melibatkan diri dalam tindak pidana korupsi yang seharusnya mereka cegah.

Minimnya gaji personil Polri, yang sudah menjadi masalah klasik, adalah statement yang kurang tepat untuk dikedepankan dalam meretas akar korupsi di tubuh Polri. Sebagai Pegawai Negeri Sipil, dalam kasus Indonesia, mereka telah ditempatkan pada status sosial menengah ke atas. Bukankah PNS sebagai okupasi yang menjanjikan dan posisi yang menjadi incaran mayoritas warga negara?. Terlalu naif jika SM menyatakan gaji yang begitu minim sebagai justifikasi pengutipan liar di sepanjang jalan Medan-Kutacane. Ke depan institusi Polri setidaknya dapat melakukan beberapa langkah berikut untuk menggali akar korupsi pada institusinya. Pertama, memberikan akses pada auditor publik atau yang ditunjuk berdasarkan keputusan tertentu untuk melakukan identifikasi atas rekening-rekening personil Polri yang bermasalah. Kedua, melakukan observasi terhadap pos-pos Polri baik yang legal maupun ilegal. Ketiga, menemukan mata rantai atau sindikasi korupsi di tubuh Polri, serta Keempat, menonaktifkan personil Polri pada jabatan strategis-struktural yang diindikasikan melakukan praktek korupsi. Keempat solusi itu setidaknya dapat menggali satu-dua akar korupsi yang jumlahnya entah seberapa banyak.

1)Tulisan ini telah dimuat pada Buletin Polisi Sipil Edisi Mei 2005 pada Buletin Polisi Sipil The Ridep Institute Jakarta

2) Penulis Adalah The Ridep Institute Local Patner untuk Wilayah Sumbagut Tahun 2005-2006
CIVILIAN POLICE:
MENGUBUR POLISI BERWATAK MILITER SERTA MELAHIRKAN POLISI BERWATAK SIPIL [1]

Abdul Rozak Tanjung [2]
Abstract
The Government of the Republic of Indonesia has issued law No.2 /2002 on Indonesian Police. The law hopefully will be an initial step to pave the way in achieving Indonesian Civilian Police. Having joined with the same organization to Indonesian military for more than 30 years, Indonesian Police still use and has behavioral and attitude as military in the way of thinking and acting in conducting their task. Indonesian police needs a long time and process to act as a civilian police. The key words in achieving civilian police mostly are: civil society oversight, internal reformation and militaristic approach interment.

Konsep Polisi Sipil
Menciptakan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat pada prinsipnya dapat dianalogikan dengan menjaga titik berat sebuah segitiga sama sisi agar tetap seimbang. Ketiga sudut dalam segitiga tersebut ditempati oleh Pemerintah, Warga Negara (baca: Rakyat) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pada proses penciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat pemerintah berperan sebagai decision maker dengan otoritas membuat peraturan perundangan dan juga kekuasaan untuk mengikat warga untuk taat terhadap kebijakan itu. Dengan demikian Pemerintah merupakan posisi sentral pemeintah dalam menciptakan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat. Warga negara di satu sudut merupakan objek utama yang harus taat terhadap kebijakan pemerintah. Berdasarkan konfigurasi komponen penyeimbang kestabilan keamanan dan ketertiban masyarakat, warga negara menempati posisi mayoritas dan menjadi salah satu variabel penting dalam upaya pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat itu. LSM di sudut lain merupakan komponen pengontrol baik pada pembuat kebijakan maupun terhadap warga negara.

Polisi sebagai unsur pemerintah merupakan salah satu variabel utama dalam proses pemeliharaan ketertiban masyarakat karena sesungguhnya secara desentarlisasi fungsional, polisi telah ditempatkan pada unsur yudikatif yang berwenang penuh mengimplementasikan produk hukum tentang keamanan dan keretiban masyarakat.
Pemerintah Indonesia telah meregulasi produk hukum tentang Polri melalui (1) TAP MPR No VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri, (2) TAP MPR No. VII/2000 Tentang Peranan TNI dan Polri, (3) Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang Polri. Substansi utama dari regulasi produk hukun itu adalah pembatasan wewenang TNI sebagai external defender dan kewenangan Polri sebagai internal defender. Produk hukum ini menjadi bkue print bagi Polri untuk melakukan fungsi praktisnya.


Merujuk pada substansi produk hukum tersebut sebelumnya, sebenarnya blue print itu sudah menjadi pilot untuk mencapai polisi sipil (civilian police) yaitu adanya demokratisasi di tubuh Polri, karakter sipil Polri dan profesionalisme Polri dan standard normatif itu dimanifestasikan melalui perilaku-perilaku empirik. Akan tetapi lebih dari dua tahun pasca ratifikasi produk hukum tersebut belum terlihat sinkronisasi antara das sein dan das sollen kinerja Polri.
Dalam tulisan ini diulas beberapa peristiwa yang tidak mencerminkan arah dari civilian police tersebut yaitu praktek-praktek empirik yang tidak menunjukkan karakter polisi sipil tersebut yakni belum terlihatnya demokratisasi di tubuh Polri, karakter sipil dan profesionalsme khusunya pendekatan militeristik.

Potret Polisi Berwatak Militeristik
Karakter polisi berwatak militeristik itu merupakan warisan sejarah yang melembaga di tubuh Polri. Widodo (2005) menyatakan akibat integrasi Polri ke ABRI yang berlangsung selama ±33 tahun menjadi salah satu penyebab munculnya melekatnya ideologi militer dalam organisasi, manajemen dan operasional Polri. Sekalipun regulasi produk hukum tentang Polri telah mengisyaratkan pembelokan haluan itu, namun pada tataran empirik masih sangat kental aroma militer itu. Hal yang lebih mengherankan juga adalah karakter sipil itu sebenarnya masih jauh dari yang diharapkan.

Berdasarkan observasi RIDEP di Kota Medan—sebagai contoh-- kepolisian dari unit Polantas masih memperlihatkan karakter militeristiknya---yang telah lama melembaga baik pada tataran kognisi maupun behavioral---terhadap warga. Polantas masih memperlihatkan kekerasan dalam menangani pengendera yang melanggar aturan lalu lintas dan penampilan personal sebagai pelayan publik yang sama dari karakteter militer----yaitu jauh dari kesan courtesy (keramahan), body language and tone of voice (suara dan gerak tubuh yang mirip dengan militer), appereance (penampilan yang sama dengan militer dengan simbol-simbol kewenangan seperti senjata), attentiveness (kurangnya perhatian pada pengguna layanan kepolisian di jalan raya seperti kemacetan dan kecelakaan). Jargon yang ditampilkan personil polantas juga kerap terdengar ketiga berhadapan dengan publik seperti: ”Selamat siang”, dengan tangan menghormat, “Mana SIM, STNK, tahu kesalahan bapak” atau “lapor,,,mohon petunjuk komandan” (untuk meminta arahan dari pimpinan),. Di Poltabes Medan sendiri penulis masih disapa dengan, “Mau keeemana kau?”. Sangat beruntung personil polisi ini tidak menyuruh push-up atau lari keliling lapangan.

Pencerminan polisi yang berkarakter milisteristik ini juga terjadi di Propinsi Riau yang menyebabkan personel polisi itu terancam hukuman mati. Sebenarnya ada berbagai kasus yang dijerat dengan pasal berlapis terhadap personil polisi ini seperti pembunuhan, pemalsuan surat serta kepemilikan amunisi (Medan Pos, 03/04/05, Tempo, 07/04/05). Namun yang perlu disoroti dalam sini adalah kepemilikan amunisi yang seharusnya dimiliki penjaga pertahanan negara (baca TNI) juga dilakukan oleh oknum polisi.

Di Makassar seperti diperlihatkan Harian Analisa (14/04/05) terlihat bagaimana polisi melakukan pengamanan terhadap warga yang melakukan demonstrasi. Dengan menahan pelaku, empat personil polisi memegang dan merangkul pelaku tersebut dan menyeret layaknya buronan puluhan tahun setra personil ini ditandai dengan simbol-simbol dan gaya militerstik seperti pistol dan tongkat pemukul. Hal yang lebih parah lagi bahwa personil Polri justru melakukan pendekatan militerisme dalam rumah tahanan Mapolsekta Medan Sunggal yang dilakukan terhadap warga sipil dengan status tersangka (Medan Pos, 16/04/05). Pada kasus ini oknum polisi dari Mapolsekta Medan Sunggal tersebut juga menyuruh tahanan lain untuk melakukan aksi militersime bagi pendatang baru lainnya.

Menuju Polisi Berwatak Sipil
Topik seperti diangkat pada judul wacana ini memerlukan proses yang panjang dan memakan rentetan waktu yang lama. Internalisasi milisteristik pada tataran kognitif polisi yang telah berakar dan melembaga harus “diformat ulang” dari dasar. Pendidikan di tubuh kepolisian harus diformat sejak dini sehingga secara berangsur idelogi militer yang telah berakar itu mulai punah. Secara filosofis dan struktural (seharusnya juga pada aktualisasinya) fungsi polisi adalah fungsi keamanan pada masyarakat sipil, bukan fungsi pertahanan dalam konteks politik. Pendekatan dalam fungsi pertahanan negara adalah defense and combat seperti pendekatan militeristik. Sementara fungsi polisi pada masyarakat sipil adalah to protect and service, yaitu mengayomi dan melindungi. Citra polisi berkarakter militeristik dapat dilihat juga melalui perilaku-perilaku yang cenderung militeristik seperti penggunaan simbol-simbol pertahanan seperti senjata dan jargon-jargon yang digunakan dalam memberikan pelayanan kepada publik. Khusus mengenai jargon ini polisi sipil itu seharusnya menampilkan voice of tongue dan courtesy seperti layaknya dimensi personal pelayanan publik. Masalahnya adalah internalisasi yang telah berakar dan melembaga tadi memerlukan waktu dan proses yang panjang untuk menguburnya. Pada kasus ini pula seharusnya unsur dari segitiga penjaga keamanan dan ketertiban tadi diperlukan.

LSM dan warga negara (individual citizen) berkewajiban untuk melakukan pengawasan dan monitoring terhadap perilaku dan kinerja polisi. Pengawasan model check and balances diantara komponen tripatrit penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat itu harus berlaku. Jika polisi berkarakter militer ini diretas munuju polisi berkarakter sipil maka titik berat segitiga keamanan dan ketetiban masyarakat sedikit bergerak ke arah keseimbangan—karena komponen pada sudut lain sebenarnya juga banyak masalah. Kita hanya berharap dengan mengubur polisi berkarakter militer ini akan diikuti oleh unsur lain pada sudut lain segitiga itu sehingga segitiganya tidak goyang.

1. Tulisan ini dimuat dalam Edisi I Buletin Polisi Sipil, April 2005 oleh The Ridep Institute Jakarta
2. Penulis adalah The Ridep Institute Local Patner untuk Wilayah Sumbagut (Aceh, Sumut, Riau dan Sumbar)

1 June 2008

Senin, 06 Juni 2005

Pemerintah Daerah di Sumut Dinilai Kurang Peduli Desa

Karo, Kompas - Kepedulian pemerintah daerah di Sumatera Utara, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten, terhadap pengembangan desa- desa dinilai sangat rendah. Selama ini pembangunan di desa kebanyakan hanya bersifat upacara dan tidak menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung. Padahal, kawasan pedesaan dihuni sebagian besar penduduk di Sumatera Utara. Karena itu, jika desa-desa tidak dikembangkan, masa depan otonomi daerah diragukan keberhasilannya.

Demikian dikatakan Kepala Laboratorium Otonomi Daerah, Jurusan Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Sumatera Utara Drs Robinson Sembiring MSi kepada wartawan, Sabtu (4/6). "Saat ini desa-desa yang ada di Sumatera Utara rata-rata tak tersentuh oleh roda pembangunan," katanya.
Menurut Robinson, desa biasanya hanya akan mendapat sentuhan pembangunan jika salah satu anggota masyarakat di desa tersebut menjadi pejabat tinggi. Desa juga hanya diperhatikan saat menjelang pemilihan umum atau menjelang pemilihan kepala daerah.
"Desa tak lebih hanya menjadi pernik-pernik untuk menghias kebijakan pembangunan. Pada umumnya desa-desa dalam kondisi memprihatinkan, seperti yang terjadi di daerah penelitian kami, yaitu Desa Buluhnaman, Kecamatan Munte, Kabupaten Karo," ungkap Robinson.
Desa yang hanya berjarak sekitar 90 kilometer dari Medan ini, menurut Robinson, bisa dilihat sebagai contoh nyata kegagalan pembangunan desa. Hampir semua aspek kegagalan pembangunan bisa dilihat di sini, seperti masalah kekurangan modal, kemampuan sumber daya manusia yang sangat rendah, kekurangan teknologi, informasi, dan akses ke pasar, rusaknya infrastruktur jalan raya, dan tidak berfungsinya lembaga desa.
Saat Kompas berada di desa tersebut, suasana desa yang berpenduduk 365 keluarga itu memang cukup memprihatinkan. Kondisi desa sangat kotor, dengan infrastruktur yang sangat minim. Setiap rumah tangga rata-rata tidak memiliki WC dan kamar mandi. Karena itu, mereka harus pergi ke sungai untuk buang air besar.
Kondisi jalan masuk ke desa dari Jalan Raya Kabanjahe-Kutacane sepanjang dua kilometer kini juga sudah rusak. Menurut warga, meski sangat vital dan menjadi akses utama ke desa itu, jalan tersebut ternyata sudah 20 tahun dibiarkan rusak parah, sama sekali tidak diperbaiki pemerintah.
Sementara itu, menurut penelitian Robinson dan timnya, lembaga desa seperti kepala desa dan badan perwakilan desa, serta sejumlah lembaga desa lain, tidak berfungsi optimal. Bahkan, sebagian besar warga desa tidak mengetahui fungsi dan tugas aparat desa mereka.
"Kerja aparat desa hanya mengurus surat-menyurat saja, seperti pengurusan kartu tanda penduduk atau surat pindah," kata Abdul Rozak Tanjung, salah satu peneliti.
Dana pembangunan
Kepala Desa Buluhnaman Suria Kaban (43) mengatakan, salah satu faktor lambannya pembangunan di desanya adalah karena minimnya dana. "Dana pembangunan desa hanya berasal dari program Bandes sebesar Rp 7,5 juta. Itu pun yang kami terima hanya Rp 5 juta, sedangkan yang Rp 2,5 juta lagi tidak diketahui ke mana larinya. Dana sebanyak ini habis untuk perbaikan tempat pertemuan desa. Mana mungkin dana itu bisa untuk membiayai pembangunan desa," katanya.
Suria Kaban mengatakan, pihaknya kesulitan mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur desa. "Kami sudah mengajukan kepada pemerintah bertahun- tahun lalu untuk perbaikan jalan desa, tetapi tidak pernah ditanggapi. Kami akhirnya memperbaiki jalan itu secara swadaya dengan iuran Rp 10.000 per keluarga. Terlalu sulit menuntut partisipasi warga lebih banyak karena pendapatan kami juga sangat minim," kata Suria Kaban. (AIK)