10 November 2007

Military

PETA BISNIS MILITER DI RIMBA RAYA
(Assessment Terhadap Partisipasi Militer Pada Bisnis Illegal Logging di Hutan Lindung Kabupaten Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal)
Abdul Rozak
(Mitra Lokal The Ridep Institute Jakarta Untuk Wilayah Sumbagut)
Telah Diseminarkan di Hotel Sahid Medan, 2006


Bisnis pengamanan merupakan salah satu bentuk utama bisnis kaum serdadau yang dijalankan secara individual maupun kelompok…..Kontak Senjata antara serdadu Linud 100/PS dengan serdadu polisi di Binjai juga berkaitan dengan jasa pengamanan atau yang disebut dengan “beking”….(Otto Iskandar Ishak)[1]

Pengantar
Dua tahun sejak berlakunya Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI khusunya Pasal 39 dan 76 tentang pengambil alihan bisnis militer prosesnya masih jalan di tempat. Dalam peringatan Hari Ulang Tahun TNI pada 5 Oktober 2006 lalu, masalah ini juga tidak disinggung, padahal Undang-Undang TNI mengatur, pengalihan bisnis tentara ini harus selesai paling lambat pada 2009. Markas besar TNI sudah menyerahkan sudah menyerahkan daftar berisi 1.520 unit usaha dengan nilai Rp. 1 Trilliun ke tim supervisi dan transformasi bisnis TNI september 2005. Dalam daftar itu tercantum berbagai jenis usaha, mulai dari agen minyak tanah, penjualan kaca mata hingga sekolah dasar. Tapi ada pula pengelola hutan, properti hingga perbankan. Nilai buku unit usaha tentara yang disetorke Cilangkap juga beragam. Ada optik yang dicantumkan hanya bernilai buku Rp. 7,5 juta, ada perusahaan yang merugi. Namun, ada juga perusahaan yang nilai bukunya mencapai Rp. 165 Milyar yaitu PT. Bhumyamca Sekawan di bawah Yayasan Markas Besar Angkatan Laut.
[2]
Potensi bisnis militer yang konon dikategorikan sebagai bisnis legal tersebut--berada dalam badan hukum atau badan usaha yang diakui secara hukum seperti yayasan-- ternyata sangat sulit untuk diambil alih apalagi sampai pada penghujung tahun 2006 ini peraturan teknis baik Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden belum kunjung turun. Ekspose media tentang pengambil alihan bisnis militer legal ini, melupakan publik bahwa potensi bisnis yang sebenarnya lebih potensial secara ekonomi dan keuangan justru bisnis militer yang bersifat melawan hukum (illegal business) mulai dari keterlibatan mereka dalam aksi perlindungan (backing) sampai pada percaloan.
Tulisan ini mencoba untuk mengingatkan kita untuk lebih melihat bisnis militer secara umum, baik kategori legal maupun ilegal, yang sepertinya sulit dipetakan secara jelas dan dibuktikan secara lugas. Tulisan ini selanjutnya mencoba untuk melakukan penjajakan tentang potensi, keterlibatan (partisipasi), serta strategi pengambil-alihan atau sterilisasi TNI dalam bisnis ilegal di kawasan hutan lindung.
Mapping dan Model Partisipasi Militer Dalam Bisnis Illegal Logging
Tifologi wilayah perkotaan (baca: Kota) dan pedesaaan (baca: Kabupaten) secara dikotomis berdampak pada perbedaan lahan bisnis militer di Indonesia berdasarkan tifologi tersebut. Wilayah Kota bisnis militer mengalir mulai dari bisnis legal di sektor pendidikan, rekreasi, properti, perbankan sampai pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Sangat berbeda dengan tifologi Kabupaten yang lahan bisnisnya samar dan berdiri tanpa lembaga. Salah satunya adalah keterlibatan militer dalam busnis ilegal perkayuan (illegal logging). Tulisan ini mengambil studi kasus di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal yang sejak tahun 1998 masing-masing menjadi daerah otonom berdasarkan Undang-Undang No 12 Tahun 1998 Tentang Pembentukan Kabupaten Toba Samosir dan Mandailing Natal.
Kejahatan di sekitar wilayah hutan hususnya illegal logging menjadi perbincangan yang hangat di Propinsi Sumatera khususnya Kabupaten Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal. Rawannya kejahatan di rimba raya ini mengakibatkan banyaknya pihak yang diduga terlibat dalam bisnis haram tersebut. Gebrakan Menteri Kehutanan MS.Kaban untuk memberantas illegal logging membuahkan hasil yang cukup memuaskan.
Bos kayu di Tapanuli Selatan khususnya wilayah Kecamatan Sosa, Darianus Lungguk Sitorus telah diproses secara hukum
[3]. DL. Sitorus telah merampas hutan negara seluas 80.000 ha di kawasan Padang Lawas Kabupaten Tapanuli Selatan yang menguasainya sejak tahun 1998 di bawah pengelolaan PT. Torganda dan PT.Torus Ganda. Menurut Jaksa penuntut kasus DL. Sitorus, raja kayu Sumatera ini telah merugikan negara sebesar Rp 400 Milyar[4]. Dalam operasional lapangan bisnis ilegal ini juga menyebabkan konflik antara satuan keamanan dan pertahanan (TNI dan Polri) khusunya di wilayah hutan Kecamatan Padang Sidempuan Barat sampai ke perbatanas Mandailing Natal di wilyah pantai Barat. Bisnis illegal logging di Kabupaten Tapanuli Selatan diuraikan sebagai berikut:
Tabel 1.
Wilayah Ilegal Logging di Kabupaten Tapanuli Selatan
No
Kecamatan
Desa

1
Sosa
Panyabungan
Siabu
2
Padang Sidimpuan Barat
Desa Siondop
Desa Tapian Nauli
3.
Batang Toru

4.
Batang Angkola
1. Wilayah Pedesaan Tano Tombangan
Sumber: Observasi Penulis dan Wawancara Tidak Terstruktur
Berikutnya bos kayu di Wilayah Mandailing Natal, Adelin Lis telah mendekam di tahanan Poldasu walau sempat melarikan diri sampai ke negeri Tirai Bambu. Lis ditengarai telah merugikan negara sebesar Rp. 227,02 Trillliun menurut versi Kementerian Lingkungan Hidup, Rp. 674 Milyar versi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan dan Rp. 4,3 Trilliun Versi kalkulasi Mingguan Tempo sebagaimana terdeskripsi dalam Tabel 1.


Tabel 2.
Kalkulasi Keruguan Negara Pada Kasus Illegal Logging Adelin Lis
Kalkulasi Kementerian Lingkungan Hidup
Kalkulasi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
Kalkulasi Mingguan Tempo
Didasarkan Pada nilai Ekonomis, Ekologis, dan Rehabilitasi Lingkungan.
1. PT. Inanta Timber merugikan negara sebesar Rp. 225 Trilliun
2. PT. Keang Naem merugikan Negara sebesar Rp. 2,02 Trilliun

PT. Inanta Timber
1. Tidak membayar Propisi Sumber Daya Hutan (PSDH) tahun 200-2005 sebesar RP 256 Milyar
2. Tidak Membayar Dana Reboisasi (DR) sekitar US$ 29 Juta (sekitar Rp 26 Milyar)
PT Keang Nam
1. Tidak membayar PSDH Rp. 309 Milyar
2. Tidak membatar DR sebesar US$ 2,9 juta (sekitar 26 Milyar)
Berdasarkan nilai kayu yang dicuri di lahan hutan lindung seluas 16 ribu hektare dengan asumsi berikut:
Produksi kayu 50 meter kubik perhektar.
Harga kisaran US$ 500 (4,5 juta) per meter kubik. Total nilai pencurian kayu Rp. 3,6 trilliun
Tunggakan propisi sumber daya hutan dan dana reboisasi (2000-2005) Rp. 674 Milyar.
Sumber: Terjerembab di Hutan Lindung, Tempo No. 34/XXXIV Tanggal 24 September 2006 hal 100.
Kapolres Mandailing Natal dan Kapolsek Natal telah mendapat mutasi dan “diparkirkan” di Polda Sumatera Utara. Demikian halnya dengan eksekutif daerah, Almarhum Saleh Harahap mantan Bupati Tapanuli Selatan mengakhiri hidupnya dalam penyidikan kasus korupsi dan illegal logging. Bupati Mandailing Natal, H. Amru Daulay mulai terindikasi ikut meloloskan proses illegal logging di Mandailing. Lalu siapa bidikan berikutnya?. Militer ternyata punya andil dalam bisnis haram itu.
Kabupaten Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal merupakan wilayah yang paling luas hutannya di Propinsi Sumatera Utara. Kabupaten Mandailing Natal secara khusus telah menetapkan sebagian areal hutannya menjadi Taman Nasional Batang Gadis (TNBG). Pemetaan awal wilayah Taman Nasional tersebut dipilah menjadi 3 (tiga) zona yaitu: zona inti, zona penyangga dan zona pemanfaatan. Pemilihan Zona ini didasarkan atas unsur kedekatan wilayah desa dengan kawasan Taman Nasional.
Penelitian yang dilakukan oleh Konsorsium Bitra pada tahun 2005 memperlihatkan banyaknya peran militer dalam meloloskan praktek illegal logging di Kabupaten Mandailing Natal. Wilayah yang menjadi praktek bisnis haram ini antara lain diuraikan dalam Tabel 2. Berikut:
Tabel 2.
Lokasi Praktek Illegal Logging di Sekitar Taman Nasional Batang Gadis Mandailing Natal
No
Kecamatan
[5]
Nama Desa
1
Kotanopan
Desa Sibanggor Julu
Desa Hutabaringin
Desa Angin Barat
Desa Pagar Gunung
2
Panyabungan
Desa Hutabargor Julu
Desa Hutabargot Nauli
3
Batang Natal
Desa Tarlola
Desa Aek Nangali
4
Siabu
Wilayah Hutagodang Muda

Sumber: Diringkas dari Penelitian Bitra Konsorsium, 2005
Model partisipasi militer dalam praktek lllegal logging ini tidak terlepas dari sumber daya yang dimilkinya yaitu senjata dan otoritas (backing). Pada beberapa desa yang menjadi wilayah praktek illegal logging ini, militer langsung turun ke lapangan yang tentunya memperoleh imbalan dari pengusaha kayu. Kehadiran mereka menjadi sarana mempermulus laju kayu illegal yang melintasi batas-batas desa sampai ke kilang kayu di ibu kota kabupaten.
Modus yang sering terjadi adalah oknum TNI selalu turut serta dalam truk pengangkut kayu ilegal dari sumber kayu sampai ke ibukota kabupaten. Kehadiran mereka menyebabkan masyarakat yang desanya dilintasi tidak mengalami phobia untuk melarang truk yang melintasi desa mereka. Secara umum praktek seperti ini sering terjadi tanpa melibatkan satuan militer secara formal namun secara informal terlihat ada rotasi antar oknum dalam satu satuan yang ada di wilayah Taman Nasional Tersebut khussunya Komando Rayon Militer (Koramil). Namun sampai saat ini Polisi, Pemerintah Lokal dan LSM belum melihat adanya partisipasi militer dalam bisnis kayu ini. Fenomena ini sering terjadi ketika perhatian warga diarahkan pada figur kunci pelaku illegal logging seperti DL Sitorus maupun Adelin Lis. Hal ini juga disebabkan oleh sulitnya membuktikan keterlibatan mereka secara administratif dan langsung. Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka pasti terlibat dalam praktek tersebut.
Menarik Militer Dari Bisnis Illegal Logging.
Pasca regulasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah telah diurakan secara eksplisit bahwa kewenangan bidang pengawasan hutan adalah menjadi tanggung jawab daerah otonom khususnya Kabupaten/Kota. Pada Pasal 14 Ayat 2 beserta penjelasannya dinyatakan bahwa: urusan pemerintahan Kabupaten/Kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan , dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Potensi itu antara lain pertambangan, perikanan, perkebunan, kehutanan dan pariwisata.
Potensi yang lahir bagi daerah otonom berdasarkan kewenangan di bidang kehutanan selanjutnya dirinci dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada Pasal 14 point a dan b yang berbunyi sebagai berikut:
a. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari penerimaan iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk pemerintah daerah.
b. Penerimaan kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi dibagi dengan perimbangan 60% untuk pemerintah pusat dan 40% untuk pemerintah daerah.
Uraian konstitusi tersebut menyiratkan bahwa potensi yang dimiliki daerah otonom yang memiliki kawasan hutan sebenarnya cukup besar. Oleh karenanya pemerintah daerah seharusnya dapat memaksimalkan kewenangannya di wilayah hukumnya khususnya melakukan pengawasan (oversight) atas kerusakan hutan (forest destruction), pencurian kayu (illegal logging). Political will pemerintah pusat juga diharapkan untuk kembali membarakkan tentara keposisi idealnya sebagai penjaga pertahanan dan integritas negara (national defense).
Komitmen konsitusi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat untuk tetap menjadikan insitutusi militer sebagai organisasi sentralistik sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU No.32 Tahun 2004 dan 34 Tahun 2004 kini menjadi bias. Jika mengambil alih bisnis militer yang bersifat legal saja sampai tahun 2006 masih jalan di tempat, bisa diprediksikan pengambil-alihan bisnis militer yang ilegal prosesnya makin lama. Langkah awal menarik militer dalam bisnis perkayuan yang paling awala dapat dilakukan adalah komitmen pemerintah daerah untuk memantapkan kewenangannnya di sekitar kawasan hutan dimana mereka masih memilki organisasi yang desentralistik yaitu: Satuan Polisi Pamong Praja atau Polisi Hutan. Penempatan posisi organisasi sentalistik ini akan mengurangi peran serdadu di rimba raya.

Daftar Bacaan
Mingguan TEMPO, No 34XXV Tanggal 23-29 Oktober 2006, hal 27.
Mingguan TEMPO No. 35/XXXV/23-29 Oktober 2006, hal 16
Otto Syamsuddin Ishak, Sosiologi Bisnis Militer Indonesia dalam Praktek-Praktek Bisnis Militer, Pengalaman Indonesia, Filipina, Burma dan Korea Selatan, The Ridep Institute Jakarta, hal 82.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia.
[1] Otto Syamsuddin Ishak, Sosiologi Bisnis Militer Indonesia dalam Praktek-Praktek Bisnis Militer, Pengalaman Indonesia, Filipina, Burma dan Korea Selatan, The Ridep Institute Jakarta, hal 82.
[2] Mingguan TEMPO No. 35/XXXV/23-29 Oktober 2006, hal 16

[3] Mingguan Tempo, No 35/XXV Tanggal 23-29 Oktober 2006, hal 27
[4] ibid hal 27
[5] Belum dipisah berdasarkan pemekaran kecamatan terakhir