10 June 2008

CIVILIAN POLICE:
MENGUBUR POLISI BERWATAK MILITER SERTA MELAHIRKAN POLISI BERWATAK SIPIL [1]

Abdul Rozak Tanjung [2]
Abstract
The Government of the Republic of Indonesia has issued law No.2 /2002 on Indonesian Police. The law hopefully will be an initial step to pave the way in achieving Indonesian Civilian Police. Having joined with the same organization to Indonesian military for more than 30 years, Indonesian Police still use and has behavioral and attitude as military in the way of thinking and acting in conducting their task. Indonesian police needs a long time and process to act as a civilian police. The key words in achieving civilian police mostly are: civil society oversight, internal reformation and militaristic approach interment.

Konsep Polisi Sipil
Menciptakan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat pada prinsipnya dapat dianalogikan dengan menjaga titik berat sebuah segitiga sama sisi agar tetap seimbang. Ketiga sudut dalam segitiga tersebut ditempati oleh Pemerintah, Warga Negara (baca: Rakyat) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pada proses penciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat pemerintah berperan sebagai decision maker dengan otoritas membuat peraturan perundangan dan juga kekuasaan untuk mengikat warga untuk taat terhadap kebijakan itu. Dengan demikian Pemerintah merupakan posisi sentral pemeintah dalam menciptakan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat. Warga negara di satu sudut merupakan objek utama yang harus taat terhadap kebijakan pemerintah. Berdasarkan konfigurasi komponen penyeimbang kestabilan keamanan dan ketertiban masyarakat, warga negara menempati posisi mayoritas dan menjadi salah satu variabel penting dalam upaya pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat itu. LSM di sudut lain merupakan komponen pengontrol baik pada pembuat kebijakan maupun terhadap warga negara.

Polisi sebagai unsur pemerintah merupakan salah satu variabel utama dalam proses pemeliharaan ketertiban masyarakat karena sesungguhnya secara desentarlisasi fungsional, polisi telah ditempatkan pada unsur yudikatif yang berwenang penuh mengimplementasikan produk hukum tentang keamanan dan keretiban masyarakat.
Pemerintah Indonesia telah meregulasi produk hukum tentang Polri melalui (1) TAP MPR No VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri, (2) TAP MPR No. VII/2000 Tentang Peranan TNI dan Polri, (3) Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang Polri. Substansi utama dari regulasi produk hukun itu adalah pembatasan wewenang TNI sebagai external defender dan kewenangan Polri sebagai internal defender. Produk hukum ini menjadi bkue print bagi Polri untuk melakukan fungsi praktisnya.


Merujuk pada substansi produk hukum tersebut sebelumnya, sebenarnya blue print itu sudah menjadi pilot untuk mencapai polisi sipil (civilian police) yaitu adanya demokratisasi di tubuh Polri, karakter sipil Polri dan profesionalisme Polri dan standard normatif itu dimanifestasikan melalui perilaku-perilaku empirik. Akan tetapi lebih dari dua tahun pasca ratifikasi produk hukum tersebut belum terlihat sinkronisasi antara das sein dan das sollen kinerja Polri.
Dalam tulisan ini diulas beberapa peristiwa yang tidak mencerminkan arah dari civilian police tersebut yaitu praktek-praktek empirik yang tidak menunjukkan karakter polisi sipil tersebut yakni belum terlihatnya demokratisasi di tubuh Polri, karakter sipil dan profesionalsme khusunya pendekatan militeristik.

Potret Polisi Berwatak Militeristik
Karakter polisi berwatak militeristik itu merupakan warisan sejarah yang melembaga di tubuh Polri. Widodo (2005) menyatakan akibat integrasi Polri ke ABRI yang berlangsung selama ±33 tahun menjadi salah satu penyebab munculnya melekatnya ideologi militer dalam organisasi, manajemen dan operasional Polri. Sekalipun regulasi produk hukum tentang Polri telah mengisyaratkan pembelokan haluan itu, namun pada tataran empirik masih sangat kental aroma militer itu. Hal yang lebih mengherankan juga adalah karakter sipil itu sebenarnya masih jauh dari yang diharapkan.

Berdasarkan observasi RIDEP di Kota Medan—sebagai contoh-- kepolisian dari unit Polantas masih memperlihatkan karakter militeristiknya---yang telah lama melembaga baik pada tataran kognisi maupun behavioral---terhadap warga. Polantas masih memperlihatkan kekerasan dalam menangani pengendera yang melanggar aturan lalu lintas dan penampilan personal sebagai pelayan publik yang sama dari karakteter militer----yaitu jauh dari kesan courtesy (keramahan), body language and tone of voice (suara dan gerak tubuh yang mirip dengan militer), appereance (penampilan yang sama dengan militer dengan simbol-simbol kewenangan seperti senjata), attentiveness (kurangnya perhatian pada pengguna layanan kepolisian di jalan raya seperti kemacetan dan kecelakaan). Jargon yang ditampilkan personil polantas juga kerap terdengar ketiga berhadapan dengan publik seperti: ”Selamat siang”, dengan tangan menghormat, “Mana SIM, STNK, tahu kesalahan bapak” atau “lapor,,,mohon petunjuk komandan” (untuk meminta arahan dari pimpinan),. Di Poltabes Medan sendiri penulis masih disapa dengan, “Mau keeemana kau?”. Sangat beruntung personil polisi ini tidak menyuruh push-up atau lari keliling lapangan.

Pencerminan polisi yang berkarakter milisteristik ini juga terjadi di Propinsi Riau yang menyebabkan personel polisi itu terancam hukuman mati. Sebenarnya ada berbagai kasus yang dijerat dengan pasal berlapis terhadap personil polisi ini seperti pembunuhan, pemalsuan surat serta kepemilikan amunisi (Medan Pos, 03/04/05, Tempo, 07/04/05). Namun yang perlu disoroti dalam sini adalah kepemilikan amunisi yang seharusnya dimiliki penjaga pertahanan negara (baca TNI) juga dilakukan oleh oknum polisi.

Di Makassar seperti diperlihatkan Harian Analisa (14/04/05) terlihat bagaimana polisi melakukan pengamanan terhadap warga yang melakukan demonstrasi. Dengan menahan pelaku, empat personil polisi memegang dan merangkul pelaku tersebut dan menyeret layaknya buronan puluhan tahun setra personil ini ditandai dengan simbol-simbol dan gaya militerstik seperti pistol dan tongkat pemukul. Hal yang lebih parah lagi bahwa personil Polri justru melakukan pendekatan militerisme dalam rumah tahanan Mapolsekta Medan Sunggal yang dilakukan terhadap warga sipil dengan status tersangka (Medan Pos, 16/04/05). Pada kasus ini oknum polisi dari Mapolsekta Medan Sunggal tersebut juga menyuruh tahanan lain untuk melakukan aksi militersime bagi pendatang baru lainnya.

Menuju Polisi Berwatak Sipil
Topik seperti diangkat pada judul wacana ini memerlukan proses yang panjang dan memakan rentetan waktu yang lama. Internalisasi milisteristik pada tataran kognitif polisi yang telah berakar dan melembaga harus “diformat ulang” dari dasar. Pendidikan di tubuh kepolisian harus diformat sejak dini sehingga secara berangsur idelogi militer yang telah berakar itu mulai punah. Secara filosofis dan struktural (seharusnya juga pada aktualisasinya) fungsi polisi adalah fungsi keamanan pada masyarakat sipil, bukan fungsi pertahanan dalam konteks politik. Pendekatan dalam fungsi pertahanan negara adalah defense and combat seperti pendekatan militeristik. Sementara fungsi polisi pada masyarakat sipil adalah to protect and service, yaitu mengayomi dan melindungi. Citra polisi berkarakter militeristik dapat dilihat juga melalui perilaku-perilaku yang cenderung militeristik seperti penggunaan simbol-simbol pertahanan seperti senjata dan jargon-jargon yang digunakan dalam memberikan pelayanan kepada publik. Khusus mengenai jargon ini polisi sipil itu seharusnya menampilkan voice of tongue dan courtesy seperti layaknya dimensi personal pelayanan publik. Masalahnya adalah internalisasi yang telah berakar dan melembaga tadi memerlukan waktu dan proses yang panjang untuk menguburnya. Pada kasus ini pula seharusnya unsur dari segitiga penjaga keamanan dan ketertiban tadi diperlukan.

LSM dan warga negara (individual citizen) berkewajiban untuk melakukan pengawasan dan monitoring terhadap perilaku dan kinerja polisi. Pengawasan model check and balances diantara komponen tripatrit penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat itu harus berlaku. Jika polisi berkarakter militer ini diretas munuju polisi berkarakter sipil maka titik berat segitiga keamanan dan ketetiban masyarakat sedikit bergerak ke arah keseimbangan—karena komponen pada sudut lain sebenarnya juga banyak masalah. Kita hanya berharap dengan mengubur polisi berkarakter militer ini akan diikuti oleh unsur lain pada sudut lain segitiga itu sehingga segitiganya tidak goyang.

1. Tulisan ini dimuat dalam Edisi I Buletin Polisi Sipil, April 2005 oleh The Ridep Institute Jakarta
2. Penulis adalah The Ridep Institute Local Patner untuk Wilayah Sumbagut (Aceh, Sumut, Riau dan Sumbar)