1 June 2008

Senin, 06 Juni 2005

Pemerintah Daerah di Sumut Dinilai Kurang Peduli Desa

Karo, Kompas - Kepedulian pemerintah daerah di Sumatera Utara, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten, terhadap pengembangan desa- desa dinilai sangat rendah. Selama ini pembangunan di desa kebanyakan hanya bersifat upacara dan tidak menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung. Padahal, kawasan pedesaan dihuni sebagian besar penduduk di Sumatera Utara. Karena itu, jika desa-desa tidak dikembangkan, masa depan otonomi daerah diragukan keberhasilannya.

Demikian dikatakan Kepala Laboratorium Otonomi Daerah, Jurusan Ilmu Administrasi Negara, FISIP, Universitas Sumatera Utara Drs Robinson Sembiring MSi kepada wartawan, Sabtu (4/6). "Saat ini desa-desa yang ada di Sumatera Utara rata-rata tak tersentuh oleh roda pembangunan," katanya.
Menurut Robinson, desa biasanya hanya akan mendapat sentuhan pembangunan jika salah satu anggota masyarakat di desa tersebut menjadi pejabat tinggi. Desa juga hanya diperhatikan saat menjelang pemilihan umum atau menjelang pemilihan kepala daerah.
"Desa tak lebih hanya menjadi pernik-pernik untuk menghias kebijakan pembangunan. Pada umumnya desa-desa dalam kondisi memprihatinkan, seperti yang terjadi di daerah penelitian kami, yaitu Desa Buluhnaman, Kecamatan Munte, Kabupaten Karo," ungkap Robinson.
Desa yang hanya berjarak sekitar 90 kilometer dari Medan ini, menurut Robinson, bisa dilihat sebagai contoh nyata kegagalan pembangunan desa. Hampir semua aspek kegagalan pembangunan bisa dilihat di sini, seperti masalah kekurangan modal, kemampuan sumber daya manusia yang sangat rendah, kekurangan teknologi, informasi, dan akses ke pasar, rusaknya infrastruktur jalan raya, dan tidak berfungsinya lembaga desa.
Saat Kompas berada di desa tersebut, suasana desa yang berpenduduk 365 keluarga itu memang cukup memprihatinkan. Kondisi desa sangat kotor, dengan infrastruktur yang sangat minim. Setiap rumah tangga rata-rata tidak memiliki WC dan kamar mandi. Karena itu, mereka harus pergi ke sungai untuk buang air besar.
Kondisi jalan masuk ke desa dari Jalan Raya Kabanjahe-Kutacane sepanjang dua kilometer kini juga sudah rusak. Menurut warga, meski sangat vital dan menjadi akses utama ke desa itu, jalan tersebut ternyata sudah 20 tahun dibiarkan rusak parah, sama sekali tidak diperbaiki pemerintah.
Sementara itu, menurut penelitian Robinson dan timnya, lembaga desa seperti kepala desa dan badan perwakilan desa, serta sejumlah lembaga desa lain, tidak berfungsi optimal. Bahkan, sebagian besar warga desa tidak mengetahui fungsi dan tugas aparat desa mereka.
"Kerja aparat desa hanya mengurus surat-menyurat saja, seperti pengurusan kartu tanda penduduk atau surat pindah," kata Abdul Rozak Tanjung, salah satu peneliti.
Dana pembangunan
Kepala Desa Buluhnaman Suria Kaban (43) mengatakan, salah satu faktor lambannya pembangunan di desanya adalah karena minimnya dana. "Dana pembangunan desa hanya berasal dari program Bandes sebesar Rp 7,5 juta. Itu pun yang kami terima hanya Rp 5 juta, sedangkan yang Rp 2,5 juta lagi tidak diketahui ke mana larinya. Dana sebanyak ini habis untuk perbaikan tempat pertemuan desa. Mana mungkin dana itu bisa untuk membiayai pembangunan desa," katanya.
Suria Kaban mengatakan, pihaknya kesulitan mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur desa. "Kami sudah mengajukan kepada pemerintah bertahun- tahun lalu untuk perbaikan jalan desa, tetapi tidak pernah ditanggapi. Kami akhirnya memperbaiki jalan itu secara swadaya dengan iuran Rp 10.000 per keluarga. Terlalu sulit menuntut partisipasi warga lebih banyak karena pendapatan kami juga sangat minim," kata Suria Kaban. (AIK)