10 June 2008

KORUPSI DI TUBUH POLRI:

REFLEKSI SEORANG PERSONIL POLRI DARI TANAH KARO1

Abdul Rozak Tanjung2
Korupsi Di Tubuh Polri
Tanpa perdebatan yang alot di Legislatif, Jenderal Polisi Sutanto diangkat Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi pemegang tongkat kepemimpinan di kursi Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Istana dinilai berbagai pihak jeli memainkan strategi calon tunggal untuk menghindari perdebatan yang alot atau kemungkinan terjadinya praktek penyuapan di lembaga legislatif (DPR-RI) itu. Alhasil, Sutanto menikmati jalan mulus menuju pucuk pimpinan di lembaga penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat tersebut.
Dengan langkah yang mantap, sang jumawa memanggil semua Kapolda untuk mensosialisasikan sekaligus menegaskan visinya dalam pemberantasan judi dan narkoba. Tidak tanggung-tanggung, Sutanto memberikan deadline cukup seminggu untuk memberantas judi di seantero Indonesia. Kontan, dari Jakarta, Medan sampai desa terpencil di Tapanuli Selatan bersih dari judi sebagai buah kebijakan itu.

Sukses memberantas judi, kini menguap kasus korupsi di tubuh Polri. Lagi-lagi sang jumawa merekomendasikan pengusutan rekening-rekening personilnya yang tidak wajar. Pusat Pelaporan Transaksi dan Analisa Keuangan (PPTAK) menyatakan adanya 15 rekening milik perwira Polri yang angkanya tidak wajar. Demikian juga ungkapan David Ridwan Betz, Direktur Eksekrutif Aliansi Masyarakat Independen Pemantau Kinerja Aparatur Negara (Ampika) yang menyatakan ada perwira tinggi Polri yang mempunyai rekening sampai 800 Milyar (Analisa, 29 Juli 2005).Deskripsi di atas menyiratkan bagi kita bahwa korupsi di tubuh Polri telah mengakar dari unit yang paling kecil (Pospol) sampai pada induk organisasi (Mabes).

Korupsi merupakan variabel pengganggu dalam menciptakan demokrasi di Indonesia. Pada tahun 2004, gambaran korupsi institusi telah terjadi pada pelbagai lembaga mulai dari legislatif, eksekutif, yudikatif dan bahkan LSM sendiri. Sebuah Survey yang dilakukan oleh Transparancy International Indonesia, dengan responden sebanyak 1.234 dari 3 kota besar di Indonesia yakni: Jakarta, Surabaya dan Medan memperlihatkan bagimana perbandingan korupsi antar instansi. Polisi menempati urutan ke-3 sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut:

Tabel 1. Korupsi Institusi dan Indeks Korupsi
============================
No Institusi Angka
============================
1 Partai Politik/DPR 4.4
2. Bea Cukai 4.3
3. Pengadilan/Polisi 4.2
4. Pajak 4.0
5. Bisnis/Swasta 3.7
6. Militer 3.3
7. Sistem Pendidikan 3.2
8. Pekerjaan Umum 3.1
9. Media 2.6
10. Pelayanan Umum 3.0
11. LSM 2.4
12. Badan Keagamaan 1.8
=================================
Sumber: Transapency Internasional Indonesia (Analisa, 29 Juli 2005 Hal 28)
Sudirman Said & Nizar Suhendra (2002:112) menyatakan bahwa paling tidak ada 4 (empat) penyebab korupsi itu. Pertama, Aspek individu pelaku korupsi; kecenderungan menunjukkan bahwa makin besar jumlah uang yang dikorupsi, makin banyak “orang besar” yang terlibat. Kedua, Aspek organisasi, Korupsi biasa terjadi karena memang organisasi tersebut biasanya memberikan peluang terjadinya korupsi mulai dari tidak adanya keteladanan pimpinan sampai pada lemahnya sistem pengendalian manajemen. Ketiga, Aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat ternyata kondusif untuk melakukan korupsi. Keempat Aspek perundang undangan, di era ode baru, yang dibuat hanya menguntungkan kerabat dan konco-konco prersiden.

Profil Seorang Personil Polri: Deskripsi Korupsi Dalam Lingkup Mikro
Deskripsi berikut menggambarkan bagaimana korupsi itu terjadi di tubuh Polri dalam lingkup mikro. Siang itu, Juni 2005, terik matahari begitu menyengat, tidak seperti biasanya, Kecamatan Munte yang begitu sejuk kini kurang bersahabat. Dalam perjalanan penulis menuju Desa Buluh Naman dari Kantor Camat Munte penulis menunggu bus di persimpangan jalan raya Medan-Kutacane-Munte. Seorang personil (SM) dari unit Polsek Munte duduk di sebuah kursi yang dilengkapi dengan meja kayu yang sudah tua. Satu persatu mobil yang lalu lalang ia perhatikan, dan setiap truk yang melintas dia berhentikan. Tanpa banyak komentar dari sang sopir ia menyodorkan, mereka menyodorkan satu atau dua lembaran Rp,1000 kepada sang polisi dan mereka pun bisa melintasi jalan menuju Medan.

Setelah “panen”, personil polisi itu mengajak penulis meminum kopi yang dia pesan dari tukang kopi. Wawancara tak berstruktur pun penulis mulai. Inti dari wawancara dan perbincangan itu adalah pengutipan yang ia lakukan hanyalah untuk “uang rokok” yang juga diketahui pimpinannya. Dengan dalih gaji yang minim yang tidak sampai dengan Rp. 1.000.000, serta kewajiban untuk memberikan nafkah keluarga, SM memandang layak untuk melakukan pengutipan ilegal itu.

Meretas Jalan Menggali Akar Korupsi Di Tubuh Polri: Sebuah Solusi
Polisi sebagai salah satu institusi penegak hukum mempunyai posisi penting dalam pemberantasan korupsi. Secara normatif, institusi ini merupakan unsur penyidik utama dalam berbagai tindak pidana. Posisi penting itu kerap disalahgunakan dan melibatkan diri dalam tindak pidana korupsi yang seharusnya mereka cegah.

Minimnya gaji personil Polri, yang sudah menjadi masalah klasik, adalah statement yang kurang tepat untuk dikedepankan dalam meretas akar korupsi di tubuh Polri. Sebagai Pegawai Negeri Sipil, dalam kasus Indonesia, mereka telah ditempatkan pada status sosial menengah ke atas. Bukankah PNS sebagai okupasi yang menjanjikan dan posisi yang menjadi incaran mayoritas warga negara?. Terlalu naif jika SM menyatakan gaji yang begitu minim sebagai justifikasi pengutipan liar di sepanjang jalan Medan-Kutacane. Ke depan institusi Polri setidaknya dapat melakukan beberapa langkah berikut untuk menggali akar korupsi pada institusinya. Pertama, memberikan akses pada auditor publik atau yang ditunjuk berdasarkan keputusan tertentu untuk melakukan identifikasi atas rekening-rekening personil Polri yang bermasalah. Kedua, melakukan observasi terhadap pos-pos Polri baik yang legal maupun ilegal. Ketiga, menemukan mata rantai atau sindikasi korupsi di tubuh Polri, serta Keempat, menonaktifkan personil Polri pada jabatan strategis-struktural yang diindikasikan melakukan praktek korupsi. Keempat solusi itu setidaknya dapat menggali satu-dua akar korupsi yang jumlahnya entah seberapa banyak.

1)Tulisan ini telah dimuat pada Buletin Polisi Sipil Edisi Mei 2005 pada Buletin Polisi Sipil The Ridep Institute Jakarta

2) Penulis Adalah The Ridep Institute Local Patner untuk Wilayah Sumbagut Tahun 2005-2006