12 June 2008


ILLEGAL LOGGING DAN BISNIS POLISI
(Studi Peran Polri dalam Praktek Illegal logging di Kawasan Taman Nasional)
Abdul Rozak Tanjung
Peneliti Lapangan Pada Proyek Pusaka Indonesia di Mandailing Natal Tahun 2006
A. Taman Nasional Batang Gadis dan Potensi Kayu
Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan deskripsi sekitar keterlibatan polisi, sebagai alat penegak hukum, penjaga keamanan dan ketertiban, dalam praktek Bisnis Kaya di Kawasan Hutan Kabupaten Mandailing Natal. Tulisan ini disampaikan penulis dari hasil penelitian penulis bersama Bitra Konsorsium tahun 2005 di Kawasan Taman nasional Batang Gadis. Wawancara mendalam (indepth interview), pengamatan langsung (observasi), dan dukungan data sekunder menjadi alat pencari data yang utama dalam tulisan ini. Dalam penelitian tersebut digunakan juga FGD untuk melakukan klarifikasi atas temuan data yang diperoleh di lapangan baik dari inifornan maupun dari sebaran data sekunder.
Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) adalah sebuah Taman nasional di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara yang terletak di 99° 12’ 45" BT sampai dengan 99° 47’ 10" dan 0° 27’ 15" sampai dengan 1° 01’ 57" LU dan secara administrasi wilayah ini dikelilingi 68 desa di 13 kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal. Nama taman nasional ini berasal dari dari nama sungai utama yang mengalir dan membelah Kabupaten Madina. TNBG meliputi kawasan seluas 108.000 hektar atau 26% dari total luas Madina yang terletak pada ketinggian 300 s/d 2.145 meter di atas permukaan laut dengan titik tertinggi puncak Gunung Sorik Merapi.

Melalui SK No 126/Menhut-II/2004 Menteri Kehutanan, TNBG disahkan sebagai Taman Nasional. TNBG terdiri dari dari kawasan hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi tetap. Hutan lindung yang dialih fungsikan seluas 101.500 ha, terdiri dari hutan lindung Register 4 Batang Gadis I, hutan Register 5 Batang Gadis II komp I dan II, Register 27 Batang Natal I, Register 28 Batang Natal II, Register 29 Bantahan Hulu dan Register 30 Batang Parlampuan I yang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung sejak masa pemerintahan Belanda dalam kurun waktu 1921 – 1924. Sementara kawasan hutan produksi yang dialihkan meliputi areal eks HPH PT. Gruti, seluas 5.500 ha, dan PT. Aek Gadis Timber seluas 1.000 ha.

Tujuan pembentukan taman nasional adalah untuk menyelamatkan satwa dan habitat alam.TNBG juga sebagai simbol pengakuan nilai-nilai kearifan lokal dalam mengelola hutan. Salah satu kearifan tradisional masyarakat setempat ini dibuktikan dengan lubuk larangan atau naborgo-borgo atau harangan rarangan atau hutan larangan, merupakan beberapa contoh kearifan lokal yang hingga kini masih lestari. Pembentukan ini juga sangat penting mengingat bahwa laju kerusakan hutan alam di propinsi ini sudah pada tingkat yang sangat memprihatinkan. Berdasarkan data Departemen Kehutanan pada tahun2003, kerusakan hutan di kawasan ini mencapai 3,8 juta ha per tahun. Kerusakan hutan di Sumatra Utara sendiri mencapai 76 ribu ha per tahun dalam kurun waktu 1985 – 1998. Sampai akhir November 2004 kerusakan hutan yang disebabkan penebangan liar (illegal logging) dan kebakaran hutan di Sumut mencapai 694.295 ha, untuk hutan lindung mencapai 207.575 ha, hutan konservasi 32.500 ha, hutan bakau 54 220 ha dan hutan produksi sekitar 400.000 ha.

Pembentukan taman nasional ini juga tidak semata-mata upaya pemerintah saja, melainkan atas jerih payah masyarakat dan kalangan lembaga swadaya masyarakat seperti,BITRA Indonesia, Conservation International Indonesia (CII), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia(Walhi) Sumut, PUSAKA Indonesia, Yayasan Leuser Lestari (YLL), Yayasan Samudra dan lain-lain.

B. Lokus Dan Kasus Illegal Logging Di Sepuluh Desa Di Mandailing Natal.
B.1. Lokus

Dalam deskrispi berikut ini disarikan beberapa lokus dan praktek illegal logging pada sepuluh desa yang menjadi penelitian penulis pada tahun 2005 bersama Bitra Konsorsium.

Desa Simpang Duhu Dolok
Sejauh yang dapat ditelusuri di lapangan,kegiatan illegal logging belum menyentuh wilayah desa simpang Duhu Dolok. Tidak ada warga yang terlibat penbalakan kayu di hutan, juga tidak ada aktivitas penebangan kayu liar di kawasan desa mereka. Namun belakangan ini ada pengusaha-pengusaha panglong dari pasar Kotanopan yang mulai beroperasi dan menebang kayu di wilayah Ulu Pungkut. Mereaka ini boleh dikatakan merupakan ancaman bagi kelestarian hutan di daerah Simpang Duhu Dolok, karena kawasan di beberapa desa lain di sekitarnya sudah mulai dirambah oleh aktor-aktor luar ini.
Desa Batahan
Sejauh yang diperoleh keterangan dari sejumlah informan, di Desa Bathan belum terjadi praktek-praktek pembalakan hutan yang melibatkan warga. Bentuk keterlibatan mereka dalam pemanfaatan hasi hutan hanya terbatas pada pengumpulan rotan manau di masa yans lalu, serta pemanfaatan sayur-sayuran dan buah-buahan hutan, juga pemanfaatan berbagai jenis binatang dan unggas.
Desa Sibanggor Julu
Aktivitas penebangan kayu yang terjadi di Sibanggor dapat digolongkan atas dua kategori. Peratama aktivitas penebangan kayu untuk keperluan warga sendiri, misalnya untuk mendapatkan perabot rumah dan untuk kayu bakar. Kedua, kegiatan penebangan kayu yang merupakan bagian dari jaringan illegal logging yang ada di daerah Mandailing Natal secara keseluruhan.
Penebangan kayu kategori pertama boleh dikatakan tidak bersifat eksplotatif karena skalanya kecil, menggunakan tekhnologi sederhana dan juga dilakukan di wilayah-wilayah yang berada di luar kawasan lindung. Kebutuhan kayu untuk bahan bakar sangat vital karena di desa Sibanggor Julu banyak warga yang menyadap nira untuk dijadikan gula aren. Proses pengolahan nira menjadi gula aren memerlukan kayu baker yang cukup banyak setiap hari, oleh karena itu kebutuhan kayu bakar termasuk cukup besar untuk menopang ekonomi gula aren. Hanya saja, kayu yang biasa digunakan untuk kayu bakar juga tidak termasuk kayu yang bermutu tinggi seperti halnya kayu untuk log. Bahkan kayu yang dimanfaatkan adalah kayu-kayu yang sudah tumbang, sudah mulai lapuk, dan umumnya berukuran sedang. Daya jangkau para petani gula aren untuk mendapatkan kayu bakar juga tidak teralalu jauh, sehingga dampak ekologisnya tidak begitu signifikan. Pandangan warga terhadap aktivitas penebangan kayu untuk kebutuhan kayu bakar maupun untuk perabot rumah tangga berbeda dengan pandangan mereka terhadap illegal logging. Untuk kebutuhan kayu bakar dan perabot rumah mereka anggap sebagai sesuatu yang wajar dan tidak perlu dilarang karena dilakukan dalam skala kecil dan bukan untuk tujuan komersil, sementara praktik illegal logging dipandang sebagai suatu tindakan yang berbahaya bagi keselamatan lingkungan.

Penebangan kayu kategori kedua, atau illegal logging, dilakukan oleh sejumlah kecil aktor yang merupakan bagian dari jaringan pembalakn kayu di Madina. Di desa ini ada empat aktor yang selam ini terlibat dalam praktik penebangan kayu secara illegal dengan menggunakan gergaji mesin (chainsaw). Mereka merupakan bagian dari jaringan penebangan kayu illegal yang selama ini berlangsung di kawasan Maga Sibanggor, dan belakangan ini juga memperluas kegiatannya sampai ke Batang Natal, bahkan ke wilayah Kecamatan Siais di perbatasan Kabupaten Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan.

Penebangan kayu sudah masuk ke kawasan hutan lindung, dan batas hutan lindung sendiri tidak lagi jelas karena patok batas yang selama ini ada sudah dipindah oleh orang-orang tertentu lebih jauh ke atas sehingga mengaburkan batas yang sebenarnya. Praktik-praktik penebangan kayu log di kawasan Tarlola Sibanggor sudah berlangsung cukup lama, bahkan hal itu sudah pernah menimbulkan konflik besar antara penduduk Maga dan penduduk Hutanamale yang berbuntut panjang terhadap munculnya disharmonisasi di kawasan ini. Penebagnga kayu selama ini marak di bagian kaki gunung Sorik Marapi, di hutan-hutan yang berada di bagian hulu Hutanamale dan Hutabaringin. Pemilik Chainsaw adalah warga lokal, dan kayu yang ditebang diangkut ke kilang kayu yang ada di Panyabungan, anatara lain milik pengusahu Ucin. Kayu olahan di kilang-kilang tersebut kemudian didistribusikan ke kawasan Madina maupun luar Madina, termasuk untuk memasok kayu bagi pengusaha keturunan Cinadi Kisaran.

Jalur pengangkutan kayu dari kawasan Hutanamle selama ini ada dua, yaitu melalui Hutabaringin, Hutanamale, Huta Lombang, Maga sampai ke panyabungan; jalur kedua melalui Hutabaringin, Hutanamle, Sibanggor Jae, Jembatan Merah lalu ke Panyabungan. Jalur pertama sudah berakhir karena adanya konflik antara penduduk Maga yang keberatan dengan tindakan pembalakn yang dilakukan penduduk desa-desa di bagian atas (Huatanamale, Hutabaringin, dll) yang berakibat pada rusaknya sarana jalan ke arah Maga dan juga berkurangnya debit air untuk penduduk di wilayah lembah Sorik Marapi.

Di kawasan Sibanggor Julu aktivitas pembalakn kayu berlangsung di beberapa bukit yang menjadi bagian dari Gunung Sorik Marapi, diantaranya di Napa Natayas, Tor Barerang dan Aek Nalomlom. Penduduk Sibanggor Julu berpandangan bahwa penebangan kayu yang dilakukan untuk tujuan komersil seperti yang berlaku selama ini tidak dibenarkan, tetapi kalau hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan perabot rumah tangga menurut mereka masih wajar. Terlebih lagi karena penebangan kayu khususnya untuk kayu bakar sudah menjadi bagian dari aktivitas pengelolaan gula aren yang selama ini menjadi salah satu komoditi unggulan dari desa Sibanggor Julu.
Desa Sibanggor Jae
Aktivitas penebangan kayu hanya dalam skala kecil untuk kebutuhan rumah tangga, dan kegiatan itu juga dilakukan di wilayah desa atau di lahan sendiri. Kegiatan pembalakan kayu secara illegal tidak ada di desa ini, karena wilayah desa Sibanggor Jae tidak memiliki kawasan hutan lagi. Aktivitas penebangan kayu illegal itu berada di bagian hulu-hulu sungai, yaitu di kawasan yang sudah termasuk kawasan Hutanamale, di lembah Gunung Sorik Marapi.
Penduduk Sibanggor Jae tidak menyetujui kegiatan pembalakan kayu yang dilakukan oleh orang-orang dari desa Hutanamale dan Hutabaringin yang menjadi kaki tangan pengusaha dari panyabungan. Memang mereka mengakui bahwa hutan yang dibalak bukan hutan desa Sibanggor Jae, namun mereka ikut merasakan dampak buruk dari pembalakan kayu tersebut yaitu terhadap turunnya debit air untuk kebutuhan desa dan juga kerusakan jalan akibat dari truk pengangkut balok-balok kayu yang melintasi desa mereka. Mereka berpandangan bahwa walaupun hutan yang dibalak berada di luar kawasan desanya, pengaruh terhadap sumber-sumber air sangat besar, sementara kebutuhan air untuk desa Sibanggor Jae ini dialirkan melalui aliran Aek Maga yang ada di Sibanggor Julu. Mereka juga percaya bahwa pembalakan hutan akan menghancurkan bidang pertanian secara langsung atau tidak langsung.
Salah satu upaya yang pernah dilakukan oleh aparat pemerintah desa dah warga Sibanggor Jae untuk menahan laju pembalakan hutan di bagian hulu atau di Lembah Sorik Marapi adalah dengan menyetop peredaran kayu illegal yang melewati desa mereka. Pada tahun 2000 diterbitkan suatu keputusan desa untuk menahan setiap truk yang membawa kayu illegal melewati desa Sibanggor Jae menuju Panyabungan. Mereka mengambil mengambil tindakan menyetop truk tersebut karena melihat kenyataan selama ini bahwa truk-truk yang membawa kayu illegal dari daerah Hutanamale Sibanggor selalu lolos ke Panyabungan meskipun di Jembatan Merah sudah ada pos pemeriksaan hasil hutan dari Dinas Kehutanan. Oleh karena itu mereka berinisiatif untuk menahan kayu tersebut sebelum sampai di Jembatan Merah.

Dengan dasar keputusan desa tersebut maka warga desa pada tahun 2000 menahan empat unit truk yang membawa kayu dari arah Hutanamale. Rute Hutanamale – Sibanggor Jae – Kayu Laut dan Panyabungan menjadi pilihan bagi pengusaha kayu karena lebih dekat jaraknya, juga karena penduduk Maga yang menjadi pintu keluar lainnya juga memberikan reaksi atas praktik penebangan liar tersebut. Ketika itu, empat truk yang membawa kayu illegal tadi dikawal oleh aparat keamanan (seorang polisi dan seorang anggota Koramil). Mereka berusaha bernegosiasi dengan kepala desa untuk meloloskan truk tersebut dengan tawaran Rp. 500.000 untuk setiap truk yang lewat, namun kepala desa Sibanggor Jae menolaknya. Warga menyita kayu tersebut dan kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan desa.

Menurut penuturan seorang informan, aparat keamanan juga pernah meneror dan mengancam kepala desa atas sikapnya ynag menolak truk-truk kayu melewati desa meraka. Dikatakan bahwa hanya desa Sibanggor Jae yang menolak, hutan yang ditebang juga bukan milik Sibanggor Jae, sumber-sumber air yang ada di hulu Hutanamale juga bukan dimanfaatkan oleh penduduk Sibanggor Jae. Nmaun dengan terror dan ancaman yang dilakukan aparat keamanan warga desa Sibanggor Jae tetap bertahan dengan sikapnya. Sikap menolak yang ditunjukkan warga Sibanggor Jae tersebut sempat membuat hubungan antara masyarakat Sibanggor Jae dan hutanamale menjadi kurang harmonis.
Pembalakan kayu di hutan Hutanamale merupakan bagian dari mafia kayu illegal yang digerakkan oleh pengusaha kilang yang ada di Panyabungan (Ucin) dan berkolaborasi denga pengusaha keturuna Cina dari Kisaran. Aktivitas pembalakn kayu sudah berhenti sejak tahun 2004.

Desa Roburan Dolok
Desa Robuarn Dolok merupakan salah satu pintu keluar kayu-kayu balok yang diambil secara illegal dari hutan lindung. Praktik pembalakn hutan di kawasan desa Roburan Dolok sudah berlangsung lama, dan berhenti akhir 2004 lalu setelah SBY ditetapkan menjadi Presiden. Berhentinya aktivitas penebangan kayu di hutan-hutan sekitar Roburan Dolok terjadi Karena para pengusaha kilang kayu yang ada di Panyabungan menutup sementara usahanya karena takut tindakan yang akan diambil oleh pemerintah dalam mengendalikan praktik illegal logging.
Keterlibatan warga Roburan Dolok dalam pembalakan kayu tersebut bervariasi, ada yang menjadi kakitangan pengusaha dari Panyabungan, dan yang terbanyak adalah yang menjadi buruh pengangkut balok-balok dari tempat penebangan ke lokasi-lokasi storing kayu sebelum diangkut ke Panyabungan. Pembalakn kayu di kawasan ini sudah jauh melampaui batas “rintis” yaitu patok batas hutan lindung yang diterapkan sejak zaman Belanda. Sebagian besar anak-anak muda yang menganggur di desa Roburan Dolok terlibat sebagai pekerja dalam proses pembalakan hutan tersebut, dengan pendapatan sekitar Rp. 40.000/ hari untuk mengangkut balok.

Desa Huta Bargot Nauli
Aktivitas illegal logging di Huta Bargot Nauli marak pada tahun 2003-2004. Waktu itu balok-balok kayu yang diangkut dari daerah HBN mencapai 3-5 truk/ hari, dijual ke Panyabungan. Ada puluhan chainsaw yang beroperasi di hutan wilayah HBN, dan ada juga warga HBNyanjadi salah satu tokenya, selain yang datang dari luar desa. Pembalakan kayu ketika itu mengikutu jalur pembukaan jalan tembus arah Siulang-aling. Pemborong permbangunan jalan waktu itu adalah Ali Rahman Nasution. Aktivitas pembalakn kayu bernenti sejak SBY dilantuk menjadi Presiden, namun secara kecil-kecilan masih tetap berlangsung. Sebelum Agustus 2004 daerah ini merupakan tempat beroperasinya penebangan liar dan perburuan binatang.

Praktik-praktik illegal logging biasanya terjadi di bukit Tor Adian, Tor Sikaba Laut, Simpang Mondan, dan Tor Siduadua. Dahulu H. Tajudin memiliki usaha sawmll, tetapi sekarang tidak aktif, namun beliau masih ikut berbisnis kayu. Mayoritas pelaku illegal logging adalah warga luar desa yang sengaja datag menebang kayu. Pelaku utamanya adalah pemilik chainsaw yang ada di Panyabungan yang sekaligus menjadi toke kayu. Penduduki desa HBN pada umumnya hanya menjadi buruh angkut di tengah hutan. Mereka biasanya pergi ke hutan untuk beberapa waktu (sekitar seminggu) dengan membawa makanan, dan mereka membuat pondok-pondok sebagai tempat tinggal sementara di tengah hutan.

Maraknya aktivitas penebangan liar ini diduga ada kaitannya dengan fakta bahwa harga gergaji mesin yang bekas cukup murah yaitu sekitar Rp. 2,5 juta sehingga banyak orang yang mampu membeli. Pelaku illegal logging berusaha mengambil hati masyarakat dengan cara memperbaiki jalan desa menuju lokasi hutan. Ada proyek jalan desa dari Hutabargot menuju Siulangaling (kecamatan Muara Batang Gadis), tetapi hanya sekitar 12 km. Pemborong pembangunan jalan itu adalah Ali Rahman Pulungan, dan dialah yang mengambil kayu di tempat itu.Pola distribusi kayu: kayu-kayu yang ditebang dikumpulkan di dekat desa (storing), lalu pengusaha melakukan lobi ke kepala desa untuk memuluskan pengangkutan, ke semua Kades-kades di kawasan Hutabargot; pengusaha memberikan retribusi Rp. 50.000/m3 selama tahun 2003-2004. Hasil distribusi dibagikan ke pada lima desa secara merata. Pengusahu kayu melibatkan pemuda setempat untuk menjaga kayu (jaga malam). Khusus Hutabargot Nauli, mereka mengumpul dana melalui bendahara desa dan digunakan untuk pembangunan sarana ibadah.

Desa Humbang Satu
Seperti desa-desa lain di seberang Batang Gadis, di Humbang I juga beberapa tahun lalu terdapat aktivitas pembalakan kayu di Tor Siayo. Penduduk Humbang banyak yang ikut bekerja sebagai pengangkut kayu balok. Aktivitas penebangan liar berhenti sejak tahun lalu.

Desa Muara Batang Angkola
Persoalan utama yang ada di desa ini berkaitan dengan kelestarian hutan adalah aktivitas pembukaan hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Hutan yang ada di Tor Siayo Di seberang sungai Batang Gadis sudah sejak lama dirambah oleh warga luar desa, terutama oleh warga migrant Nias untuk membuka lahan pertanian karet dan kemiri. Diperkirakan ada sekitar 300 orang atau keluarga yang hidup di punggung-punggung perbukitan, berpencar di lahan-lahan yang mereka buka. Konversi kawasan hutan lindung menjadi lahan pertanian sudah berlangsung lama dan masih berlanjut hingga sekarang.Selain migran Nias, pembukaan lahan hutan di seberang sungai tersebut juga dilakoni warga dari desa-desa tetangga MBA seperti dari Huta Godang Muda dan Tangga Bosi. Penduduk MBA sendiri baru-baru ini saja mulai tergerak untuk ikut membuka lahan pertanian di daerah tersebut.

Desa Sopotinjak
Beberapa tahun lalu aktivitas penebangan kayu di huta kawasan Sopotinjak juga marak terjadi seperti yang terjadi di kawasan-kawasan lain di Mandailing Natal. Salah satu keterlibatan warga dalam kegiatan penebangan kayu illegal itu adalah faktor kesulitan ekonomi. Keterlibatan warga desa pada umumnya hanya sebagai buruh tebang dan pengangkut kayu log dari hutan ke tempat-tempat truk pengangkut kayu menunggu. Aktor-aktor utama dalam penebangan kayu ini adalah para cukong dari Panyabungan, karena mereka memberikan modal.Praktek pembalakn hutan itu bias berjalan mulus karena keterlibatan dari aparat desa dalam bisnis tersebut. Sekretaris desa dan seorang tokoh masyarakat yang memiliki gergaji mesin ikut dalam aktivitas tersebut.
Lokasi-lokasi yang selama ini banyak ditebangi kayunya antara lain di sekitar Dolok Martimbus, Tor Sitinjak Lama, dan Aek Simate-mate. Akses masuk ke kawasan huatn ini adalah jalan setapak yang tidak bias dilalui kenderaan bermotor. Para pemuda dan warga desa umunya terlibat sebagai buruh angkut kayu menempuh jalur itu. Kayu dikumpulkan di bagian hulu desa sebelum diangkut dengan truk-truk besar ke Panyabungan. Seorang informan mengatakan bahwa kayu yang diangkut dari Sopotinjak pada masa itu sekitar satu truk fuso setiap minggu.

Desa Aek Nangali
Pembalakan kayu illegal dalam skala besar marak sebelum Agustus 2004. Ada tiga kawasan yang menjadi titik aktivitas pembalakan kayu, myaitu di bukit Tor Sanduduk, Tor Ompu Sutan dan Tor Pargadungan. Jenis kayu yang paling diincar pembalak adalah kayu ‘bania’, yang memiliki nilai ekonomis paling tinggi, dan juga kayu ‘resak’. Pelaku pembalakn kayu ini termasuk warga Aek Nangali sendiri, dengan menggunakan gergaji mesin (chainsaw) milik warga desa. Sekarang ini masih ada dua orang lagi yang menyimpan chainsaw, termasuk kepala desa Aek Nangali. Selain aktor dari warga desa Aek Nangali sendiri, pembalakn kayu di kawasn ini juga dilakukan oleh warga luar desa dari berbagai tempat di Mandailing Natal, termasuk aktor-aktor pembalak kayu yang selama ini beroperasi di kawasan Hutanamale Sibanggor.
Kegiatan pambalakan kayu tersebut dipermudah dengan dibukanya jalan desa yang menghubungkan desa Aek Nangali dengan desa Aek Nabara (dulu masih bagia dari Aek Nangali) sepanjang kurang lebih 22 km. Proses pengangkutan kayu dari hutan beralangsung lewat jalan ini. Warga desa yang terlibat sebagai buruh angkut bekerja mengangkut (memundak) balok-balok kayu dari hutan tempat penebangan ke pinggir jalan untuk seterusnya diangkut dengan mobil pikap ke Aek Nangali. Ongkos angkut kayu yang diterima oleh buruh tersebut hanya sekitar Rp. 40.000/ hari. Kayu-kayu tersebut ditumpuk di dekat banhgunan sekolah SMP Aek Nangali menuggu dibawa ke panglong-panglong kayu di Panyabungan. Ketika kegiatan pambalakan kayu ini sedang marak-maraknya, setidaknya ada tiga truk besar (fuso) yang mengangkut kayu illegal dari desa ini ke Panyabungan setiap minggu.

Selain aktor-aktor yang mengambil kayu secara illegal, di kawasa Aek Nabara ada juga penebangan kayu yang dilakukan oleh pemilik izin (IPKTR) atas nama sebuah koperasi yaitu Koperasi Pondok Pesantren Al-Bitsatil Islamiyah, Panyabungan, yang dipimpin oleh Makmur Rangkuti. Izin Bupati Madina yang dikantongi koperasi itu bernomor 522/365/K/2001. Pengelola koperasi ini pernah memberikan sumbangan dana ke desaAek Nangali sebesar Rp. 50.000.000; atas pemintaan warga masyarakat dana itu kemudian dibagi rata dan setiap KK mendapat Rp. 265.300. Pihak Koramil Batang Natal di Muara Soma juga termasuk yang menerima ‘dana stabil’ untuk terus berlangsungnya kegiatan pembalakan kayu di kawasan tersebut.

Dari keterangan informan diketahui bahwa di desa ini terdapat beberapa orang yang memilki gergaji mesin, yaitu Sundut Dalimunte (Kepala Desa) memiliki 3 buah,Zulkifli Lubis (Sekretaris Desa), Gusnar Siregar, Kisron, Syafii Batubara, dan Ali Usman. Mereka inilah yang ikut menjadi bagian dalam aktivitas pembalakan kayu dari desa, plus warga desa yang bekerja sebagai buruh angkut.

B. Modus
Secara umum peranan Polri dalam kasus sepuluh desa di atas adalah pem backup-an terhadap (1) pengeluaran izin HPH atau dokumen penebangan lainnya, (2) Distribusi dan Transportasi hasil kayu jarahan, (3) backing terhadap sawmill serta (4) kepemilikan chainsaw.
1. Pengeluaran HPH
Untuk melakukan penebangan kayu secara legal diperlukan izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian. Izin seperti ini diperlukan para penguasaha untuk melakukan praktek illegal logging. Pada saat ini juga polisi membantu para pengusaha yang mempunyai HPH untuk membackup segala aktifitas pengambilan kayu di hutan. Jika memiliki HPH dan juga mendapatkan dukungan pengamanan dari Polisi maka seorang pengusaha kayu dapat dengan leluasa melakukan penebangan secara liar.
2. Distribusi dan Transportasi Hasil Kayu Jarahan
Seperti terjadi di Desa Sibanggor Jae, Polisi turut serta dalam proses pengangkutan kayu dari sumber kayu sampai ke sawmill. Hal ini dilakukan untuk menakut-nakuti warga yang selalu melarang kayu yang melewati desanya meneruskan perjalanannya. Warga yang merasa keberatan dengan rusaknya jalan desa tidak mau memberikan keleluasaan bagi truk-truk kayu untuk melewati Jalan Desa. Peristiwa ini sampai hari ini tidak pernah diusut, namun oknum polisi yang ikut bersama rombongan truk akhirnya takut dengan tindakan pemberhentian dan menurunkan paksa kayu yang ada dalam truk.
3. Backing Terhadap Sawmill
Pada masa maraknya praktek illegal logging ini sampai tahun 2005 angka peningkatan jumlah sawmill di Mandailing Natal terus bertambah. Informan penulis yang berasal dari Manisak Kecamatan batahan menyatakan dalam satu desa bisa terdapat jumlah Sawmill 3 sampai 4 sawmill. Sawmill ini mendapatkan perlindungan dari aparat keamanan sehingga dengan leluasa sawmill ini didirikan di pinggir jalan raya.
4. Kepemilikan Chaisaw
Dalam beberapa desa di wilayah Kecamatan Batang Natal, jumlah chainsaw bisa mencapai angka 25 buah chainsaw dalam satu desa. Kepemilikan chainsaw ini bisa dimiliki sendiri oleh warga atau milik polisi yang disewakan kepada warga dengan sistem bagi hasil. Selain memiliki chainsaw di desa, oknum polusi juga meminta insentif dari pemilik chainsaw lainnya untuk bisa mengoperasikan chainsawnya di desa.